Dikutip dari Pengajian
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf FK. UNDIP / RSUP Dr. Kariadi Semarang,
disampaikan oleh Ustadz Ali Masrum Al-Mudhoffar, Ahad, 17 Juni 2012
disampaikan oleh Ustadz Ali Masrum Al-Mudhoffar, Ahad, 17 Juni 2012
Shalat
adalah serangkaian perbuatan berupa gerakan anggota badan dan perkataan dengan
syarat dan rukun yang ditentukan Allah Subhaanahu wa Ta'aalaa mengikuti
yang dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam yang
dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.
Firman
Allah :
Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk
bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang
menegakkan shalat dan menafkahkan dari apa yang Kami rizkikan kepada
mereka,(QS. 2/Al-Baqarah : 1-3)
Pada firman Allah ini shalat tak terlepas dari iman pada
yang ghaib.
Shalat sebagaimana pengertian definitifnya tersebut diatas
adalah ritus (bersifat ritual).
Segala makna ritual dengan demikian didasarkan pada
pokoknya yaitu shalat dengan definisi itu adalah yang tak terlepas dari iman
pada yang ghaib.
Informasi, berita, ilmu tentang yang ghaib adalah
menyesatkan, zhalim, tidak adil dan kadar serta derajatnya adalah persangkaan
kecuali yang diwahyukan yang berasal dari yang Maha
Menguasai yang ghaib dan yang syahadah (tidak ghaib).
Pengetahuan tentang yang
ghaib yang haq hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan Allah.
Segala
sesuatu yang disebut ritual, dengan demikian, tak terpisah dari syarat dan rukun.
Bila syarat dan rukun terpenuhi
ritual menjadi absah dan bila tidak terpenuhi ia tidak sah, batal atau rusak.
Karena itu, ritual tak
terlepas dari iman pada yang ghaib. Sedangkan ilmu tentang yang ghaib
adalah menyesatkan, zhalim, tidak adil kecuali yang diwahyukan yang berasal
dari Allah. Maka
otoritas yang haq, legal dan tidak zhalim menentukan syarat dan rukun ritual adalah
yang ada pada yang diwahyukan yang berasal dari Allah. Tidak ada otoritas itu pada
manusia yang tidak diberi kenabian oleh Allah untuk menerima wahyu.
Pendirian, sikap dan
perbuatan manusia tidak ada yang terlepas hubungannya dengan yang ghaib yang
mesti dipertanggungjawabkan.
Itulah mengapa, tidak ada
jalan lain bagi manusia agar tidak sesat, tidak salah, tidak zhalim dalam hal
segala perbuatannya tak terlepas dari masalah yang ghaib, kecuali dengan
ditundukkannya segala unsur diri manusia pada ketentuan syarat dan rukun
yang ada pada yang diwahyukan yang berasal dari Allah.
Segala
unsur diri manusia baik hati, instink/naluri demikian pula akal beserta jalan
fikiran dan jalan perasaannya bila tidak ditundukkan sinergik pada ayat-ayat
Allah (dalam kitab-kitab Allah dan dalam peristiwa alam) maka adalah derita
teradzab sengsara dan ternista hina
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. 7/Al-A'raaf : 179)
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. 7/Al-A'raaf : 179)
Shalat
Bebas dari Siksa Ketidakpastian
Terdapat
pertanyaan dari seorang mahasiswa : Ustadz, saya tahu bahwa Allah Maha
Pengampun dan Maha Melihat. Kadang-kadang saya merasa, karena Allah sudah lebih
mengetahui diri saya dari pada diri saya mengetahui diri saya sendiri, membuat
saya malu meminta, bermunajat atau meminta ampun, karena Allah juga tahu saya
bermaksiat dan berbuat dosa lagi. Seolah-olah munajat saya hanya angin lalu
yang tidak berbekas dalam diri saya. Apakah hati saya ini benar-benar sudah
keras dan hampir tertutup. Saya ingin sekali mencintai Allah. Tapi bagaimana
caranya, karena saya tidak seperti hamba-hamba Allah yang lain ?
Dijawabnya
sebagai berikut :
Shalat
adalah munajat. Shalat adalah do'a. Shalat adalah meminta ampun kepada Allah.
Karena Allah memerintahkan hambanya untuk shalat, karena Allah memerintahkan
untuk meminta ampun pada-Nya, maka taatilah perintah Allah sebagaimana ketaatan
hamba Allah yang mengatakan : Aku shalat, aku beristghfar meminta ampun kepada
Allah, aku bertaubat akan dosa-dosaku karena Allah memerintahkan, aku tak
peduli jalan fikiran dan jalan perasaanku. Apalagi jalan fikiran dan jalan
perasaan orang lain.
Terdapat
pertanyaan yang lain :
Assalaamu’alaikum.Ustadz, saya mau tanya, kemarin saya bercakap dengan seorang
teman
beragama Katholik.
Kok dia juga bilang insyaAllah. Katanya di agama dia ada.
Kalau begitu, bagaimana Ustadz ?
Dijawabnya
pertanyaan itu :
Syaikh
Efiaim Bar Nabba Bambang Noorsena, pimpinan Gereja Ortodoks Syria, dalam
makalah yang disampaikan pada Syiar Injiliyah di Hotel Surabaya, 19 Juni 1998
mengakui salat dalam Kristen sebenarnya mengikuti salat yang berlaku dalam
Yahudi, yaitu tiga kali: petang, pagi, dan tengah hari.
Namun,
seperti dimuat Talmud, setelah penghancuran Baitul Maqdis dan eksodus ke
Babilonia, ditetapkan satu waktu salat lagi, yaitu jam kesembilan, yang disebut
minhah. “Menurut hitungan waktu Yahudi, kira-kira pukul tiga petang. Sejajar
dengan waktu asar dalam Islam,” kata Noorseno. Dan, selanjutnya berkembang
menjadi tujuh waktu.
Setiap salat terdiri dari tiga rakaat (satuan gerakan).
Pada rakaat pertama hanya dilakukan qiyam (berdiri). Pada rakaat kedua
dilakukan rukuk, dan sujud. Pada saat rukuk dan sujud ini dilakukan gerakan
tanda salib. Dan, doa yang digunakan dalam bahasa Arab, Aram, Yunani, dan
Ibrani. Lalu dibacakan pujian (qari’ah) yang dikutip dari kitab Mazmur. Pada
rakaat ketiga dilakukan pembacaan kanun al imam, semacam pengakuan kepada Tuhan
(syahadat) yang dikenal dalam Gereja Ortodoks.
Sebelum
salat ditunaikan, ada semacam azan, panggilan untuk salat. Dalam panggilan
salat ini ada kalimat yang mirip dalam Islam, misalnya hanya alashalah (marilah
kita salat). Hayya alassalah bisalam (marilah kita salat dengan damai). Dan,
sebelum acara salat dilakukan, diawali dengan pembacaan Injil.
Blog
Abdul Manan | Koran Tempo | Jakarta, 3 Okt 1998, Gereja denganHaji dan Salat ( http://jurnalis.wordpress.com/1998/10/03/gereja-dengan-haji-dan-salat/
)
Misalkanlah ada orang sembahyang seperti shalat kita, maka yang kita lakukan adalahkepastian sumber dan janji perintah dan larangan Allah
dalam ayat-ayat-Nya, kemudian kita jawab perintah dan larangan itu dengan
kepastian dari kita yang adanya ada pada ketaatan kita pada ayat-ayat Allah itu
Inilah
cara yang ditunjukkan Allah untuk kita mentaati ayat-ayat
yang diwahyukan Allah pada Ibrahim,
Ya'qub, Dawud, Musa, 'Isa dan Muhammad shallallaahu
‘alaihi wa sallam.
Kita tak peduli jalan fikiran & jalan perasaan kita. Apalagi jalan fikiran & jalan perasaan orang lain yang
jelas-jelas tidak diberi kenabian oleh Allah dan yang pasti itu digugat oleh
Allah dengan pertanyaan-Nya dalam Al-Qur'an, Surat 52/Ath-Thuur : 30 – 43.
Apakah
mereka diperintah oleh fikiran-fikiran mereka untuk (apa yang tak berdasar dari
Allah) ini ataukah mereka kaum yang melampaui batas? Ataukah mereka mengatakan: "Dia
(Muhammad) membuat-buatnya". Sebenarnya mereka tidak beriman. Maka
hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al-Qur'an itu jika mereka
orang-orang yang benar. (QS : 52:Ath-Thuur : 32-34)
Selamat
dari ketidakpastian yang menyiksa dan menista tonggaknya ada pada shalat
mentaati Allah. Perintah Allah adalah pasti, sumbernya pasti, janji padanya
pasti.
Dari
Abu Al-Haura As-Sa'dy, ia berkata : Aku berkata Hasan bin Ali : Apakah yang
engkau menjaganya dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam ?
Hasan
bin Ali menjawab : Aku menjaga dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa
sallam adalah (apa yang beliau bersabda) : Tinggalkan apa yang meragukan
engkau menuju apa yang tidak meragukan engkau, maka sesungguhnya benar itu
ketenangan dan sesungguhnya dusta itu kekacauan (tersiksa keguncangan). (HR.
At-Tirmidzy)
Tinggalkan
ketidakpastian sumber yang tetap saja merupakan perdebatan akal manusia menuju
kepastian ayat-ayat Allah, apa yang diperintahkannya.
Tinggalkan
ketidakpastian pendapat manusia menuju kepastian ketaatan yang mulia pada
ayat-ayat Al-Qur'an yang mulia dari Dzat yang Mahamulia.
Tinggalkanlah
ketidakmulian balik sana balik sininya kemauan nafsu fikiran dan perasaan,
tinggalkanlah untuk menuju ketidakraguan ketaatan diri pada ayat-ayat Allah.
Tinggalkan
tak bermartabatnya ketidakpastian karena tidak menegakkan shalat menuju kepastian
penegakan shalat semata alasan taat pada ayat-ayat Allah dan sunnah kenabian
Rasulullah .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar