Minggu, 24 Juni 2012

Shalat, Prinsip Ketidakzhaliman Terbebas dari Ketidakpastian


Dikutip dari Pengajian Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf FK. UNDIP / RSUP Dr. Kariadi Semarang,
disampaikan oleh Ustadz Ali Masrum Al-Mudhoffar, Ahad, 17 Juni 2012

Shalat adalah serangkaian perbuatan berupa gerakan anggota badan dan perkataan dengan syarat dan rukun yang ditentukan Allah Subhaanahu wa Ta'aalaa mengikuti yang dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.
Firman Allah :
Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang menegakkan shalat dan menafkahkan dari apa yang Kami rizkikan kepada mereka,(QS. 2/Al-Baqarah : 1-3)

Pada firman Allah ini shalat tak terlepas dari iman pada yang ghaib.
Shalat sebagaimana pengertian definitifnya tersebut diatas adalah ritus (bersifat ritual).
Segala makna ritual dengan demikian didasarkan pada pokoknya yaitu shalat dengan definisi itu adalah yang tak terlepas dari iman pada yang ghaib.

Informasi, berita, ilmu tentang yang ghaib adalah menyesatkan, zhalim, tidak adil dan kadar serta derajatnya adalah persangkaan
kecuali yang diwahyukan yang berasal dari yang Maha Menguasai yang ghaib dan yang syahadah (tidak ghaib).
Pengetahuan tentang yang ghaib yang haq hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan Allah.



Katakanlah: "Aku tidak mengatakan kepada kalian, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepada kalian bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. (QS. 6/Al-An'aam : 50)

Segala sesuatu yang disebut ritual, dengan demikian, tak terpisah dari syarat dan rukun.
Bila syarat dan rukun terpenuhi ritual menjadi absah dan bila tidak terpenuhi ia tidak sah, batal atau rusak.
Karena itu, ritual tak terlepas dari iman pada yang ghaib. Sedangkan ilmu tentang yang ghaib adalah menyesatkan, zhalim, tidak adil kecuali yang diwahyukan yang berasal dari Allah. Maka otoritas yang haq, legal dan tidak zhalim menentukan syarat dan rukun ritual adalah yang ada pada yang diwahyukan yang berasal dari Allah. Tidak ada otoritas itu pada manusia yang tidak diberi kenabian oleh Allah untuk menerima wahyu.
Pendirian, sikap dan perbuatan manusia tidak ada yang terlepas hubungannya dengan yang ghaib yang mesti dipertanggungjawabkan.
Itulah mengapa, tidak ada jalan lain bagi manusia agar tidak sesat, tidak salah, tidak zhalim dalam hal segala perbuatannya tak terlepas dari masalah yang ghaib, kecuali dengan ditundukkannya segala unsur diri manusia pada ketentuan syarat dan rukun yang ada pada yang diwahyukan yang berasal dari Allah.
Segala unsur diri manusia baik hati, instink/naluri demikian pula akal beserta jalan fikiran dan jalan perasaannya bila tidak ditundukkan sinergik pada ayat-ayat Allah (dalam kitab-kitab Allah dan dalam peristiwa alam) maka adalah derita teradzab sengsara dan ternista hina


Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. 7/Al-A'raaf : 179)

Shalat Bebas dari Siksa Ketidakpastian

Terdapat pertanyaan dari seorang mahasiswa : Ustadz, saya tahu bahwa Allah Maha Pengampun dan Maha Melihat. Kadang-kadang saya merasa, karena Allah sudah lebih mengetahui diri saya dari pada diri saya mengetahui diri saya sendiri, membuat saya malu meminta, bermunajat atau meminta ampun, karena Allah juga tahu saya bermaksiat dan berbuat dosa lagi. Seolah-olah munajat saya hanya angin lalu yang tidak berbekas dalam diri saya. Apakah hati saya ini benar-benar sudah keras dan hampir tertutup. Saya ingin sekali mencintai Allah. Tapi bagaimana caranya, karena saya tidak seperti hamba-hamba Allah yang lain ?

Dijawabnya sebagai berikut :
Shalat adalah munajat. Shalat adalah do'a. Shalat adalah meminta ampun kepada Allah. Karena Allah memerintahkan hambanya untuk shalat, karena Allah memerintahkan untuk meminta ampun pada-Nya, maka taatilah perintah Allah sebagaimana ketaatan hamba Allah yang mengatakan : Aku shalat, aku beristghfar meminta ampun kepada Allah, aku bertaubat akan dosa-dosaku karena Allah memerintahkan, aku tak peduli jalan fikiran dan jalan perasaanku. Apalagi jalan fikiran dan jalan perasaan orang lain.

Terdapat pertanyaan yang lain :
Assalaamu’alaikum.Ustadz, saya mau tanya, kemarin saya bercakap dengan seorang
teman beragama Katholik. Kok dia juga bilang insyaAllah. Katanya di agama dia ada. Kalau begitu, bagaimana Ustadz ?

Dijawabnya pertanyaan itu :
Syaikh Efiaim Bar Nabba Bambang Noorsena, pimpinan Gereja Ortodoks Syria, dalam makalah yang disampaikan pada Syiar Injiliyah di Hotel Surabaya, 19 Juni 1998 mengakui salat dalam Kristen sebenarnya mengikuti salat yang berlaku dalam Yahudi, yaitu tiga kali: petang, pagi, dan tengah hari.
Namun, seperti dimuat Talmud, setelah penghancuran Baitul Maqdis dan eksodus ke Babilonia, ditetapkan satu waktu salat lagi, yaitu jam kesembilan, yang disebut minhah. “Menurut hitungan waktu Yahudi, kira-kira pukul tiga petang. Sejajar dengan waktu asar dalam Islam,” kata Noorseno. Dan, selanjutnya berkembang menjadi tujuh waktu.
Setiap salat terdiri dari tiga rakaat (satuan gerakan). Pada rakaat pertama hanya dilakukan qiyam (berdiri). Pada rakaat kedua dilakukan rukuk, dan sujud. Pada saat rukuk dan sujud ini dilakukan gerakan tanda salib. Dan, doa yang digunakan dalam bahasa Arab, Aram, Yunani, dan Ibrani. Lalu dibacakan pujian (qari’ah) yang dikutip dari kitab Mazmur. Pada rakaat ketiga dilakukan pembacaan kanun al imam, semacam pengakuan kepada Tuhan (syahadat) yang dikenal dalam Gereja Ortodoks.
Sebelum salat ditunaikan, ada semacam azan, panggilan untuk salat. Dalam panggilan salat ini ada kalimat yang mirip dalam Islam, misalnya hanya alashalah (marilah kita salat). Hayya alassalah bisalam (marilah kita salat dengan damai). Dan, sebelum acara salat dilakukan, diawali dengan pembacaan Injil.


Misalkanlah ada orang sembahyang seperti shalat kita, maka yang kita lakukan adalahkepastian sumber dan janji perintah dan larangan Allah dalam ayat-ayat-Nya, kemudian kita jawab perintah dan larangan itu dengan kepastian dari kita yang adanya ada pada ketaatan kita pada ayat-ayat Allah itu

Inilah cara yang ditunjukkan Allah untuk kita mentaati ayat-ayat yang diwahyukan Allah pada Ibrahim, Ya'qub, Dawud, Musa, 'Isa dan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Kita tak peduli jalan fikiran & jalan perasaan kita. Apalagi jalan fikiran & jalan perasaan orang lain yang jelas-jelas tidak diberi kenabian oleh Allah dan yang pasti itu digugat oleh Allah dengan pertanyaan-Nya dalam Al-Qur'an, Surat 52/Ath-Thuur : 30 – 43.

Pada ayat-ayat itu, diantaranya Allah mempertanyakan :

Apakah mereka diperintah oleh fikiran-fikiran mereka untuk (apa yang tak berdasar dari Allah) ini ataukah mereka kaum yang melampaui batas? Ataukah mereka mengatakan: "Dia (Muhammad) membuat-buatnya". Sebenarnya mereka tidak beriman. Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al-Qur'an itu jika mereka orang-orang yang benar. (QS : 52:Ath-Thuur : 32-34)

Selamat dari ketidakpastian yang menyiksa dan menista tonggaknya ada pada shalat mentaati Allah. Perintah Allah adalah pasti, sumbernya pasti, janji padanya pasti.
 Dari Abu Al-Haura As-Sa'dy, ia berkata : Aku berkata Hasan bin Ali : Apakah yang engkau menjaganya dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam ?
Hasan bin Ali menjawab : Aku menjaga dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam adalah (apa yang beliau bersabda) : Tinggalkan apa yang meragukan engkau menuju apa yang tidak meragukan engkau, maka sesungguhnya benar itu ketenangan dan sesungguhnya dusta itu kekacauan (tersiksa keguncangan). (HR. At-Tirmidzy)

Tinggalkan ketidakpastian sumber yang tetap saja merupakan perdebatan akal manusia menuju kepastian ayat-ayat Allah, apa yang diperintahkannya.
Tinggalkan ketidakpastian pendapat manusia menuju kepastian ketaatan yang mulia pada ayat-ayat Al-Qur'an yang mulia dari Dzat yang Mahamulia.
Tinggalkanlah ketidakmulian balik sana balik sininya kemauan nafsu fikiran dan perasaan, tinggalkanlah untuk menuju ketidakraguan ketaatan diri pada ayat-ayat Allah.
Tinggalkan tak bermartabatnya ketidakpastian karena tidak menegakkan shalat menuju kepastian penegakan shalat semata alasan taat pada ayat-ayat Allah dan sunnah kenabian Rasulullah .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BULAN SUCI DIBAWAH KAKI ZIONIS

Disampaikan pada : Forum Kajian AT-TAUBAH Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf FK. UNDIP/RSUP Dr. Kariadi Semarang, Ahad 23 November 20...