Sabtu, 04 Mei 2013

SARAN MENARA HORN UNTUK PANITIA PEMBANGUNAN MASJID

Fungsi Menara Horn
Menara Horn dimaksudkan adalah bagian pendukung bangunan masjid yang menopang horn atau loud speaker (corong pengeras suara) pada ketinggian yang menjangkaukan suara panggilan adzan terdengar warga muslim di radius teritori masjid yang pusat kehidupan berislamnya di masjid itu.
Di samping itu pada kenyataannya ada saat-saat tertentu berfungsi sebagai media komunikasi masyarakat secara umum, seperti pengumuman kepada seluruh warga sekitar.
Fungsi menara horn ini perlu disaranai sebagai bagian dari pembangunan dan penyediaan sarana pendukung Masjid.
Berikut ini adalah contoh menara horn yang sederhana, fungsional secara peribadatan, sosial dan arsitektural.

 Menara Horn Masjid di Kampung Gasem - Tlogosari Wetan dipandang dari POM Bensin Gasem Jl. Wolter Monginsidi sebelah selatan fly over Banget Ayu Semarang.

Menara Horn tampak dari depan Masjid, bertopong pada bangunan cor lantai II.





Jumat, 08 Maret 2013

Keberadaban dan Kebiadaban Nikah-cerai

Dikutip dari Pengajian At-Taubah, Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf FK. UNDIP / RSUP Dr. Kariadi Semarang,
disampaikan oleh Ustadz Ali Masrum Al-Mudhoffar, Ahad, 10 Februari 2013
      


ADAB


Ad-Darimy dalam kitabnya As-Sunan meriwayatkan : 
Dari Muhammad bin Yusuf dari Mis'ar dari Ma'n bin Abdurrahman dari Ibnu Mas'ud yang berkata : Tidaklah orang yang mendidik melainkan ia cinta untuk ia dijadikan beradab dengan adabnya. Dan sesungguhnya adab Allah adalah Al-Qur'an.




 

Dari Sa'd bin Hisyam dari 'Amir, ia berkata : Aku datang kepada 'Aisyah radhiyallaahu 'anhaa, kemudian aku bertanya : Wahai Ummul-Mu'minin, beritakanlah kepadaku tentang akhlak (keberadaban) Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam !. Ia menjawab : Akhlak (keberadaban) beliau adalah Al-Qur'an. Tidakkah engkau membaca Al-Qur'an, firman Allah Subhaanahu wa Ta'aalaa :
 Dan sesungguhnya engkau berakhlak (berkeberadaban) yang agung (QS. 68/Al-Qalam : 4) (HR Ahmad)

Oleh karena juga 'Aisyah mengatakan bahwa akhlaq Rasulullah adalah Al-Qur'an, adab maupun akhlaq itu bukan hanya moral di satu sisi sedang di sisi lain yang bukan moral adalah kredo/iman dan hukum.

Dalam adab tidak dipisahkan antara keimanan, hukum dan moral. Adab Qur'ani adalah iman sekaligus hukum dan moral.
Pernyataan ahli hukum bahwa orang yang taat moral berarti taat hukum sedangkan orang yang taat hukum belum tentu taat moral tidak berlaku untuk melemahkan kepastian adab yang adalah Al-Qur'an. Demikian pula dengan demikian peradaban dari hakikat adab ini tidak mengenal terjemahan peradaban dengan harga murah kepada civilization.

Lembaga komunal orang-orang beriman yang merupakan partikel peradaban termasuk diantaranya lembaga pernikahan bersuami istri adalah lembaga yang terdiri dari orang-orang yang imannya mentaati ayat-ayat Allah memimpin akalnya. Sedangkan akal yang diusung untuk menghancurkan dan mengambil alih kepeimimpinan iman mentaati ayat Allah hanyalah menghancurkan peradaban dari kepemimpinan yang diridhai Allah Subhaanahu wa Ta'aalaa.
Sungguh keterlaluan umat manusia , tidak mau menyadari bahwa ini berarti basis fundamental kebiadaban telah diasaskan.

Tidak pula adab pada hakikatnya itu dengan kepastian hukum Allah untuk ditaati bisa dirusak oleh serangan pernyataan hukum yang sangat kental kaidah falsafah hukumnya walaupun sering dianggap disandarkan dari Rasulullah, seperti pernyataan Pak Kiai berikut ini :

Pertanyaan :
Pak Kiai, apa benar cerai itu halal tapi termasuk perbuatan yang dicela Allah?
Jawaban :
Pernyataan tersebut ada pada hadis Rasulullah saw. Perbuatan yang halal di sisi Allah, tapi dimurkai oleh Allah adalah talak.

Pernikahan dan Perceraian

Hakikat pernikahan itu mesti terjadi karena perintah dan larangan Allah itu adalah hukum Allah untuk ditaati dan karena sunnah Rasulullah untuk diikuti.



Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian, dan orang-orang yang layak (untuk nikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. (QS. 24/An-Nuur : 32)
 Dari.'A-isyah radhiyallaahu 'anhaa, ia berkata : Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : Nikah itu sunnah kenabian-ku. Maka barangsiapa tidak suka sunnah kenabian-ku maka ia bukan bagian dariku. Bersuami-istrilah kalian, sesungguhnya aku (adalah nabi) yang banyak umatnya dengan kalian. Barangsiapa berkelapangan hendaklah ia menikah. Dan barangsiapa yang tidak mendapatkan kelapangan itu maka hendaklah ia berpuasa, karena sesungguhnya shiyam itu adalah perisai baginya. (HR. Ibnu Majah)

Hakikat perceraian itu mesti terjadi karena status hukum bersuami istri yang merusak hukum Allah yang semestinya untuk ditaati.
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. 60/Al-Mumtahanah : 10)

Catatan Adab Berkenaan dengan Pernikahan dan Perceraian :

Pertama : Oleh karena pernikahan itu mesti terjadi karena adalah perintah Allah dan sunnah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, maka perceraianpun bila itu mesti terjadi keberadabannya ada pada tidak dilanggarnya tujuan pernikahan.
Tidak melanggar tujuan pernikahan yaitu melaksanakan ajaran dari Sang Pencipta.

Kedua : Termasuk hal yang mendasar dalam prikemanusiaan yang adil dan beradab adalah bahwa pernikahan dan perceraian kalaupun itu mesti terjadi tidaklah melanggar hak Allah untuk ditaati 

Tidak melanggar hak Allah Subhaanahu wa Ta'aalaa untuk ditaati ayat-ayat-Nya dan untuk tidak disekutukannya Allah dengan sesuatu dansiapapun juga selain Allah.
 Ibadatilah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. (QS. 4/An-Nisaa' : 36)

Mengibadati Allah ialah mentaati ayat-ayat-Nya

Ketiga :Pernikahan dan perceraian yang beradab tidak menundukkan cita-cita penghuni surga pada cinta dunia

Tidak menundukkan cita-cita menjadi penghuni surga Allah di alam akhirat kelak dengan kepentingan dunia yang dicintai dibawah bayang-bayang neraka. Karena hal itu sama dengan menggantikan hakikat kehidupan yaitu di akhirat dengan senda gurau dan main-main yaitu kehidupan dunia.
Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui. (QS. 29/Al-'Ankabuut : 63)

Keempat : Tidak Menundukkan Ketaatan pada Allah dibawah keinginan hawa nafsu dan syetan adalah hal mendasar keberadaban

Lembaga rumah tangga bersuami istri yang dibangun untuk lembaga ketaatan pada Allah dan Rasulnya, orang-orang beriman bertanggungjawab untuk tidak dibiarkan rusak akibat mengikuti keinginan hawa nafsu dan syetan.
Karena perpecahan di dalamnya adalah agenda musuh-musuh Allah dari kalangan syetan jin dan manusia.

Kelima : Berada dalam pernikahan maupun berpisah dengan perceraianpun dengan cara yang baik termasuk kategori keberadaban. Adapun dengan cara yang tidak ma'ruf dan tidak baik adalah cara-cara yang kurang beradab.

Firman Allah :
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma`ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (QS.2/Al-Baqarah : 229)

Kelima : Keberadaban dalam urusan nikah-cerai tidak menghancurkan kebaikan lembaga pernikahan Islami dan tidak melestarikan pemudharatannya. Hancur dan termudharatinya kebaikan lembaga pernikahan Islami adalah indikator kebiadaban.



Kalaupun perceraian adalah jalan yang diambil maka hendaklah perceraian karena berlangsungnya rumah tangga bersuami istri itu melemahkan ketaatan kepada ayat-ayat Allah, jeleknya adab dan termudharatinya lembaga pernikahan dan pelaksanaan ajaran Islami. Kemudian perceraian itu hendaklah dimaksudkan untuk membangun keluarga yaitu lembaga rumah tangga yang lebih baik secara Islami dengan maksud Allah menjadikan jalan keluar dan mengeluarkan dari kemudharatan.



Keenam : Keberadaban dalam urusan nikah-cerai adalah secara umum tidak dijadikannya wanita menanggung status menggantung. Sebaliknya adalah tidak beradab.


Dan kalian tidak akan dapat berlaku adil di antara wanita-wanita, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah cenderung kepada setiap kecenderungan (hawa nafsu), sehingga kalian membiarkannya seperti yang menggantung, terkatung-katung. Dan jika kalian mengadakan kemaslahatan dan memelihara diri, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 4/An-Nisaa' : 129)


Ketujuh : Keberadaban dan kebiadaban nikah-cerai juga dilihat dari apakah melangkahi daya upaya perbaikan yang ditentukan Allah.

Dan jika kalian khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka utuslah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. 4/An-Nisaa' : 35)

Bila pernikahan (poligami atau monogami) sah syarat dan rukunnya menurut ajaran Allah, berarti ajaran allah yang diperjuangkan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah ditegakkan. Bila ada yang menghendaki perceraiannya maka adalah merusak yang sah yang diperjuangkan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Bila martabat perusak perjuangan Rasulullah itu yang dipilih, bagaimana dirinya berharap lepas dari penderitaan yang menghinakan martabatnya baik ia membangun pernikahan lain atau tidak.
Kezhaliman yang diderita sekarang karena suami istri itu telah zhalim, pernikahannya dulu bukan perjanjian sakral keduanya demi mentaati Allah. Pasti karena perolehan kesenangan duniawi. Ini hanya penyampaian wasiat Allah : BERATUBATLAH ! Bila tidak, silahkan minta tolong kepada selain Allah. 
Bila hawa nafsu tetap berambisi merusak ajaran Allah yang telah dilaksanakan dengan sah itu maka semua fihak yang disebut dalam QS. 4/An-Nisaa' : 35 itu akan dituntut di hadapan Allah untuk menanggung konsekuensi dan risiko tak bermartabatnya di dunia dan di akhirat.
Pesan ini mengandung kewajiban disampaikan kepada semua fihak yang tersebut dalam ayat itu (termasuk lelaki, perempuan, masing-masing wali keduanya serta fihak-fihak di pengadilan yang menangani perkaranya)

Analogikan diri merupakan bagian dari ritual shalat Jum'at, khathib, imam ataupun jama'ah, kemudian dengarkan suatu pesan yang mengingatkan berikut ini.

Wahai Khathib, Imam dan Jama'ah shalat Jum'at.
Bila Islam itu negara dimana Rasulullah semula adalah kepala negara, penglima militer dan pemimpin pemerintahan, maka kini di seluruh permukaan bumi tidak boleh disuarakan lagi karena telah diharamkan oleh manusia bukan oleh Allah. Bila Islam itu agama untuk mengurus satu bagian saja urusan kehidupan manusia dimana di bagian lain  agama diharamkan ikut campur mengurusinya yaitu urusan negara, pemerintahan dan politik, maka kini para pemimpin agama apapun dengan ajaran iman, peribadatan dan moralnya hingga pada bagian terkecil partikel peradaban yaitu lembaga rumah tangga laki-perempuan bersuami istri, yang dari Allah tak diindahkan, tak ditaati, kenyataannya sekarang ini tak ada gunanya lagi melawan riba dengan darah dagingnya berupa korupsi, demikian pula melawan narkoba. Yang ada tinggallah di sudut-sudut tempat peribadatan agama apapun sebagai pelipur lara, wisata ruhani, rekreasi mental dan asessori batin saja. Yang tiada arti apa-apa inipun apakah masih bukan lagi karena hak Allah untuk ditaati ajaran-Nya. Untuk tidak dilanggar hak-Nya, demikian pula hak-Nya untuk diibadati tanpa menyekutukan Allah dengan siapa dan apapun juga lain-Nya.

Minggu, 24 Juni 2012

Shalat Mi'raj Mukminin?



Tuesday, December 9, 2008, berjudul : Shalat Adalah Mikraj Bagi Orang Beriman ditulis dalam bahasa Malaysia sebagai berikut :

Peristiwa Isra’- Mikraj adalah merupakan satu peristiwa yang sahih lagi benar-benar berlaku ke atas batang tubuh dan roh Baginda Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam.
Ianya merupakan satu perkara yang tidak dapat dimungkiri lagi akan kejadiannya, karena nas-nas yang menerangkannya adalah muktamad berdasarkan ayat-ayat suci Al-Quranul Karim dan hadist-hadist yang sahih.

Peristiwa Isra’-Mikraj ini bukan sahaja satu perkara yang menunjukkan kebesaran Allah Ta’ala sebagai Rabb Yang Maha Berkuasa, bahkan ianya juga merupakan pembatas di antara iman dan kufur. Lantaran ini tercatat di dalam sirah ( perjalanan hidup ) Baginda Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam akan adanya golongan yang murtad lantaran tidak mahu beriman dengan peristiwa ini.

Secara ringkasnya : ISRA’ ialah berjalan malam . Maksudnya : Perjalanan Baginda Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam di malam hari dengan menaiki sebuah kenderaan khas yang ajaib ( yang kita kenali sebagai “ Buraq “ ), daripada Makkah al-Mukarramah ke Palestin yang pada waktu itu dikenali sebagai “ Syam “. Manakala “ MIKRAJ “ pula ialah perjalanan naiknya Baginda Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam ke atas dengan merentasi kesemua lapisan langit dan diakhiri dengan menemui Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Di dalam pertemuan inilah, Allah Ta’ala telah mengurniakan sebuah hadiah yang amat bernilai, yang tiada taranya yaitu SHALAT.

Adapun lafazh yang dianggap hadits oleh kebanyakan masyarakat yaitu :
الصَّلاَةُ مِعْرَاجُ الْمُؤْمِنِيْنَ
“ Shalat itu adalah mikraj bagi orang – orang yang beriman “ tidaklah kami ketahui – sekadar kemampuan ilmu kami yang sedikit ini – daripada manakah asalnya ?.
Sebenarnya, kami telah cuba mencari di dalam sembilan kitab hadist yang utama ( Sunan Tis’ah ) dan cuba juga mencarinya dengan menggunakan kitab-kitab “ Takhrij al-Hadist “ ( Pencarian sumber asal sesuatu hadist ), namun nampaknya tidak kami menemuinya.

Setahu kami, lafazh tersebut adalah satu ibarat ataupun kiasan ataupun misalan ataupun perumpaan yang diungkapkan oleh para ulama’ Islam, khasnya mereka yang mendalami ilmu Tasawuf. Dan ada juga yang mengatakan bahawa ungkapan ataupun lafazh itu pernah diungkapkan oleh Al-Imam al-‘Allamah Al-Munawi ( rh ).

Walaupun status ungkapan ataupun perkataan tersebut masih kabur asal-usulnya secara pasti hingga ke saat jawapan ini ditulis, namun itu tidaklah bermakna bahawa perkataan itu tidak boleh diterima.


Isi dan maksud perkataan tersebut sudah tentu sahih dan betul . Lihat sahaja peristiwa ketika Baginda Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam mikraj ke atas lapisan-lapisan langit, apakah kesudahan yang paling utama di dalam peristiwa tersebut ?. Sudah tentu kesudahannya ialah Baginda Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam menerima kewajipan melaksanakan shalat ( shalat ) 5 waktu sehari-semalam.

Mengapakah kewajipan-kewajipan lain diterima dari “ atas “ ke “ bawah “ ( bumi ) , walhal kewajipan shalat pula diambil sendiri oleh Baginda Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam di “ atas “ ?.

Mengapakah kewajipan-kewajipan lain disampaikan kepada Baginda Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam melalui utusan wahyu, Malaikat Jibril 'alaihis-salam, walhal ibadat shalat pula tidak sedemikian, malahan Baginda Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam sendiri “ dijemput “ menemui Rabbnya “ di atas “ ?.


Ini semua menunjukkan bahawa shalat itu merupakan ibadat yang paling utama berbanding ibadat-ibadat selainnya dan ianya merupakan ibadat yang terpenting sekali, yang wajib dilakukan oleh semua orang yang mengaku sebagai Islam !.

Samalah seperti seorang Raja. Jika seorang raja memerintahkan seorang laksamana dengan satu arahan yang disampaikan secara bertulis ataupun melalui utusan khas daripada baginda, sudah tentu ianya adalah biasa sahaja. Akan tetapi jika Raja sendiri yang memanggil ( menjemput ) si laksmana itu mengadap, sudah pasti arahan yang bakal baginda berikan itu adalah arahan yang SANGAT PENTING DAN PALING UTAMA. Inilah perumpamaannya dengan kewajipan shalat itu menurut pandangan Al-‘Allamah Asy-Syeikh Al-Imam Muhammad Mutawalli Asy-Sya’arawi ( rh ).

Dengan kata lain bolehlah kita menyimpulkan : “ Baginda Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam sendiri dijemput oleh Allah Ta’ala untuk berbicara dengan Allah Ta’ala ketika peristiwa mikraj, maka jika kita semua hendak “ mikraj “ ( berbicara dan bermunajat ) dengan Allah Ta’ala, maka marilah kita lakukan shalat dengan penuh khusyuk dan tawadhuk. Dengan cara itu, hati kita sendiri akan berbicara ( mikraj ) kepada Rabb Yang Maha Agung, akan berdoa dan memuja-muji kebesaran-Nya dan akan memohon berbagai-bagai permohonan daripada-Nya “.


Tidak syak lagi shalat adalah mikraj bagi orang-orang yang beriman karena di dalamnya, seseorang hamba itu boleh berbicara, memuja-muji dan bermohon ( doa ) kepada Rabb mereka ; Allah Ta’ala.

Shalat sebagai cara kita berinteraksi dengan Allah Ta’ala ini sendiri telah digambarkan oleh Baginda Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam dengan sabdanya :
Artinya : Riwayat Saidina ‘Abdullah ( radhiyallaahu 'anhu ) Bin Saidina ‘Umar al-Khattab ( radhiyallaahu 'anhu ) menyebut : Pernah Baginda Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam beriktikaf dan berucap kepada manusia dengan sabdanya : “ Sesungguhnya jika salah-seorang daripada kamu menunaikan shalat, maka itu berarti dia sedang bermunajat kepada (berbicara dengan) Rabbnya. Maka hendaklah salah seorang kalian (yang bermunajat itu) memperhatikan apakah isi-isi munajatnya (perbicaraannya) itu terhadap Rabbnya dan janganlah sebagian kalian sama sebagian yang lain saling kuat-menguatkan ( mengeraskan ) bacaannya di dalam shalat “
Hadis sahih diriwayatkan oleh Al-Imam al-Kabir Ahmad Bin Hanbal ( rh ).

Larangan ini bertujuan agar kita tidak mengganggu makmum di sebelah dengan bacaan kita yang kuat. Selain itu ianya berkuat-kuasa bagi seluruh makmum di dalam shalat berjemaah dan bagi mereka yang tidak menunaikan shalat seperti orang yang membaca Al-Qur'anul Karim, berdzikir, berwirid ataupun berborak-borak dengan para jemaah masjid / surau / mushalla. Dan larangan ini dikecualikan bagi majlis-majlis pengajian ilmu, karena tanpa ilmu yang betul, seseorang itu sudah pasti tidak akan dapat melaksanakan shalatnya sebagai mana tuntutan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallaahu'alaihi wa sallam . Dan sudah tentu sekali shalat itu sekali-kali tidak dapat dia gunakannya sebagai “ mikraj”nya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

RUJUKAN & SARAN PEMBACAAN :

ISRA’ WA MIKRAJ
Oleh : Al-Imam Asy-Syeikh Muhammad Mutawalli Asy-Sya’arawi ( rh )
Diterjemahkan Oleh : Noraine Abu
Terbitan : Dinie Publisher , Jalan Masjid India , K. Lumpur

30 / Dzulqa’edah / 1423 H




CATATAN :

Oleh karena lafazh yang dianggap hadits oleh kebanyakan masyarakat yaitu :
الصَّلاَةُ مَعْرَاجُ الْمُؤْمِنِيْنَ
“ Shalat itu adalah mikraj bagi orang – orang yang beriman “ belum bisa dihadirkan kepada kita urutan mata rantai para periwayatnya sambung menyambung sampai pada betul-betul itu sabda Rasulullah maka ia mengandung beban logika, standar dan konsekuensinya. Beban itu diantaranya adalah beban standar dan kualitas spiritual dari lafazh (yang dianggap hadits Rasulullah) yang periwayatannya belum sampai kepada kita, ini berarti adalah beban keraguan yang Allah dan Rasul-Nya tidak membebankannya pada kita.
Beban logika, standar dan konsekuensi apa yang dianggap hadits dari Rasulullah padahal urutan periwayatannya belum bisa dihadirkan mengakibatkan beban itu semacam beban syarat dan rukun shalat sehingga apabila logika, standar dan konsekuensi pernyataan itu pada shalat seseorang tidak terpenuhi, shalat itu dipandang (dihukumi) cacat ataupun bermartabat spiritual rendah, murahan.
Sama halnya dengan penderajatan kepada syari'at, ma'rifat dan hakikat melekat kepada diskrimansi yang bukan ikutan umat dari Rasul-Nya.
Sedangkan mentaati ayat-ayat Allah, mengikuti sunnah kenabian Rasul-Nya yang tak ada pembebanan akan keraguan, spekulasi, untung-untungan, relativitas mapun iseng padanya, ia adalah syari'at, ia adalah ma'rifat, ia adalah hakikat bagi hamba Allah yang diantaranya adalah shalatnya.

Sebaiknya cukuplah dengan logika, standar dan konsekuensi dari pernyataan yang lebih jelas sumbernya yang merupakan hadits atau apalagi ayat Al-Qur'an
Hadits yang lebih jelas itu diantaranya sebagaimana sabda Rasulullah diatas :
فَلْيَعْلَمْ أَحَدُكُمْ مَا يُنَاجِي رَبَّهُ وَلاَ يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ بِالْقِرَاءَةِ فِي الصَّلاَةِ
“Maka hendaklah salah seorang kalian (yang bermunajat itu) memperhatikan apa yang ia munajatkan (bicarakan) kepada Rabbnya dan janganlah sebagian kalian sama sebagian yang lain saling kuat-kuatan ( mengeraskan ) bacaannya di dalam shalat “
Hal ini tidak mengecualikan kegiatan yang menurut pertimbangan akal selayaknya dikecualikan dari larangan meninggikan bacaan atau suara seperti yang dikemukakan diatas yang dinyatakan larangan ini dikecualikan bagi majlis-majlis pengajian ilmu.
Hal itu sesuai dengan yang lebih suci dari peluang kepada keraguan , yaitu ayat Kitab Allah : 

Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu" (QS. 17/Al-Israa' : 110)

Demikian pula yang lebih bisa dirujuk sumbernya dalam hal ini riwayat dari Rasulullah seperti menangisnya beliau sebagai rujukan kekhusyu'an shalat, misalnya :

Dari Abdullah bin Syikhir

Yazid menceritakan kepada kami, ia berkata : Menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Tsabit Al-Bunani dari Mutharrif bin Abdullah dari bapaknya, ia berkata : Aku melihat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam mengerjakan shalat dan di dadanya (seolah) terdapat bunyi air mendidih dalam cerek karena menangis (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasaa'i dan Tirmidzi)

Mi'raj Rasulullah Tidak Menggantikan Wahyu

Mi'raj Rasulullah merupakan peristiwa berkaitan dengan yang ghaib.
Kejadian itu diunggulkan sekaligus menyangkut missinya yang diunggulka pula, yaitu shalat, sebagaimana dikemukakan tersebut.
Mengapakah kewajiban-kewajiban lain diterima dari “ atas “ ke “ bawah “ ( bumi ), sedangkan kewajiban shalat pula diambil sendiri oleh Baginda Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam di “ atas “ ?.
Mengapakah kewajiban-kewajiban lain disampaikan kepada Baginda Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam melalui utusan wahyu, Malaikat Jibril 'alaihis-salam, sedangkan ibadat shalat pula tidak sedemikian, malahan Baginda Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam sendiri “ dijemput “ menemui Rabbnya “ di atas “ ?.

Sekalipun demikian, peristiwa mi'raj ini tak dapat menggantikan wahyu karena Allah Subhaanahu wa Ta'aalaa telah berfirman :
قُلْ لاَ أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللهِ وَلاَ أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلاَ أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَا يُوحَى إِلَيَّ
Katakanlah: "Aku tidak mengatakan kepada kalian, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepada kalian bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. (QS. 6/Al-An'aam : 50)


Firman Allah Tentang Mi'raj

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al- Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari ayat-ayat (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. 17/Al-Israa' : 1)

Hadits Tentang Mi'raj Rasulullah :

حَدِيثُ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُتِيتُ بِالْبُرَاقِ وَهُوَ دَابَّةٌ أَبْيَضُ طَوِيلٌ فَوْقَ الْحِمَارِ وَدُونَ الْبَغْلِ يَضَعُ حَافِرَهُ عِنْدَ مُنْتَهَى طَرْفِهِ قَالَ فَرَكِبْتُهُ حَتَّى أَتَيْتُ بَيْتَ الْمَقْدِسِ قَالَ فَرَبَطْتُهُ بِالْحَلْقَةِ الَّتِي يَرْبِطُ بِهِ اْلأَنْبِيَاءُ قَالَ ثُمَّ دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَصَلَّيْتُ فِيهِ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ خَرَجْتُ فَجَاءَنِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَم بِإِنَاءٍ مِنْ خَمْرٍ وَإِنَاءٍ مِنْ لَبَنٍ فَاخْتَرْتُ اللَّبَنَ فَقَالَ جِبْرِيلُ اخْتَرْتَ الْفِطْرَةَ ثُمَّ عَرَجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ فَقِيلَ مَنْ أَنْتَ قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ قِيلَ وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ قَالَ قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِآدَمَ فَرَحَّبَ بِي وَدَعَا لِي بِخَيْرٍ ثُمَّ عَرَجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ الثَّانِيَةِ فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَم فَقِيلَ مَنْ أَنْتَ قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ قِيلَ وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ قَالَ قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِابْنَيِ الْخَالَةِ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَيَحْيَى ابْنِ زَكَرِيَّاءَ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِمَا فَرَحَّبَا وَدَعَوَا لِي بِخَيْرٍ ثُمَّ عَرَجَ بِي إِلَى السَّمَاءِ الثَّالِثَةِ فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ فَقِيلَ مَنْ أَنْتَ قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِيلَ وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ قَالَ قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِيُوسُفَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا هُوَ قَدْ أُعْطِيَ شَطْرَ الْحُسْنِ فَرَحَّبَ وَدَعَا لِي بِخَيْرٍ ثُمَّ عَرَجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ الرَّابِعَةِ فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَم قِيلَ مَنْ هَذَا قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ قَالَ وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ قَالَ قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِإِدْرِيسَ فَرَحَّبَ وَدَعَا لِي بِخَيْرٍ قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ ( وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًّا ) ثُمَّ عَرَجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ الْخَامِسَةِ فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ قِيلَ مَنْ هَذَا قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ قِيلَ وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ قَالَ قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِهَارُونَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَحَّبَ وَدَعَا لِي بِخَيْرٍ ثُمَّ عَرَجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ السَّادِسَةِ فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَم قِيلَ مَنْ هَذَا قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ قِيلَ وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ قَالَ قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِمُوسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَحَّبَ وَدَعَا لِي بِخَيْرٍ ثُمَّ عَرَجَ إِلَى السَّمَاءِ السَّابِعَةِ فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ فَقِيلَ مَنْ هَذَا قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِيلَ وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ قَالَ قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِإِبْرَاهِيمَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسْنِدًا ظَهْرَهُ إِلَى الْبَيْتِ الْمَعْمُورِ وَإِذَا هُوَ يَدْخُلُهُ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ لاَ يَعُودُونَ إِلَيْهِ ثُمَّ ذَهَبَ بِي إِلَى السِّدْرَةِ الْمُنْتَهَى وَإِذَا وَرَقُهَا كَآذَانِ الْفِيَلَةِ وَإِذَا ثَمَرُهَا كَالْقِلاَلِ قَالَ فَلَمَّا غَشِيَهَا مِنْ أَمْرِ اللهِ مَا غَشِيَ تَغَيَّرَتْ فَمَا أَحَدٌ مِنْ خَلْقِ اللهِ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَنْعَتَهَا مِنْ حُسْنِهَا فَأَوْحَى اللهُ إِلَيَّ مَا أَوْحَى فَفَرَضَ عَلَيَّ خَمْسِينَ صَلاَةً فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَنَزَلْتُ إِلَى مُوسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا فَرَضَ رَبُّكَ عَلَى أُمَّتِكَ قُلْتُ خَمْسِينَ صَلاَةً قَالَ ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ التَّخْفِيفَ فَإِنَّ أُمَّتَكَ لاَ يُطِيقُونَ ذَلِكَ فَإِنِّي قَدْ بَلَوْتُ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَخَبَرْتُهُمْ قَالَ فَرَجَعْتُ إِلَى رَبِّي فَقُلْتُ يَا رَبِّ خَفِّفْ عَلَى أُمَّتِي فَحَطَّ عَنِّي خَمْسًا فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى فَقُلْتُ حَطَّ عَنِّي خَمْسًا قَالَ إِنَّ أُمَّتَكَ لاَ يُطِيقُونَ ذَلِكَ فَارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ التَّخْفِيفَ قَالَ فَلَمْ أَزَلْ أَرْجِعُ بَيْنَ رَبِّي تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَبَيْنَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلاَم حَتَّى قَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنَّهُنَّ خَمْسُ صَلَوَاتٍ كُلَّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لِكُلِّ صَلاَةٍ عَشْرٌ فَذَلِكَ خَمْسُونَ صَلاَةً وَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةً فَإِنْ عَمِلَهَا كُتِبَتْ لَهُ عَشْرًا وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا لَمْ تُكْتَبْ شَيْئًا فَإِنْ عَمِلَهَا كُتِبَتْ سَيِّئَةً وَاحِدَةً قَالَ فَنَزَلْتُ حَتَّى انْتَهَيْتُ إِلَى مُوسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ التَّخْفِيفَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ قَدْ رَجَعْتُ إِلَى رَبِّي حَتَّى اسْتَحْيَيْتُ مِنْهُ
Hadits dari Anas bin Malik radhiyallaahu 'anhu katanya: Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam bersabda: Aku telah didatangi Buraq. Yaitu seekor binatang yang berwarna putih, lebih besar dari keledai tetapi lebih kecil dari baghal. Ia merendahkan tubuhnya sehingga perut buraq tersebut mencecah bumi. Baginda bersabda lagi: Lalu aku menungganginya sehingga sampai ke Baitulmaqdis. Baginda bersabda lagi: Aku mengikatnya pada tiang masjid sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para Nabi. Baginda bersabda lagi: Sejurus kemudian aku masuk ke dalam masjid dan mendirikan shalat sebanyak dua rakaat. Setelah selesai aku terus keluar, secara tiba-tiba aku didatangi dengan semangkuk arak dan semangkuk susu oleh Jibril 'alaihis-salam. Aku memilih susu. Lalu Jibril 'alaihis-salam berkata: Engkau telah memilih fitrah. Lalu Jibril 'alaihis-salam membawaku naik ke langit. Ketika Jibril 'alaihis-salam meminta agar dibukakan pintu, kedengaran suara bertanya: Siapakah engkau? Dijawabnya: Jibril. Jibril 'alaihis-salam ditanya lagi: Siapakah bersamamu? Jibril 'alaihis-salam menjawab: Muhammad. Jibril 'alaihis-salam ditanya lagi: Adakah dia telah diutus sebagai rasul? Jibril 'alaihis-salam menjawab: Ya, dia telah diutus sebagai rasul. Lalu dibukakan pintu kepada kami. Ketika aku bertemu dengan Nabi Adam 'alaihis-salam, beliau menyambutku serta mendoakan aku dengan kebaikan. Seterusnya aku dibawa naik ke langit kedua. Jibril 'alaihis-salam meminta supaya dibukakan pintu. Kedengaran suara bertanya lagi: Siapakah engkau? Dijawabnya: Jibril. Jibril 'alaihis-salam ditanya lagi: Siapakah bersamamu? Jibril 'alaihis-salam menjawab: Muhammad. Jibril 'alaihis-salam ditanya lagi: Adakah dia telah diutus sebagai rasul? Jibril 'alaihis-salam menjawab: Ya, dia telah diutus sebagai rasul. Pintu pun dibukakan kepada kami. Ketika aku bertemu dengan Isa bin Mariam dan Yahya bin Zakaria, mereka berdua menyambutku dan mendoakan aku dengan kebaikan. Aku dibawa lagi naik langit ketiga. Jibril 'alaihis-salam meminta supaya dibukakan pintu. Kedengaran suara bertanya lagi: Siapakah engkau? Dijawabnya: Jibril. Jibril 'alaihis-salam ditanya lagi: Siapakah bersamamu? Jibril 'alaihis-salam menjawab: Muhammad. Jibril 'alaihis-salam ditanya lagi: Adakah dia telah diutus sebagai rasul? Jibril 'alaihis-salam menjawab: Ya, dia telah diutus sebagai rasul. Pintu pun dibukakan kepada kami. Ketika aku bertemu dengan Nabi Yusuf 'alaihis-salam ternyata dia telah dikurniakan dengan kedudukan yang sangat tinggi. Dia terus menyambut aku dan mendoakan aku dengan kebaikan. Aku dibawa lagi naik ke langit keempat. Jibril 'alaihis-salam meminta supaya dibukakan pintu. Kedengaran suara bertanya lagi: Siapakah engkau? Dijawabnya: Jibril. Jibril 'alaihis-salam ditanya lagi: Siapakah bersamamu? Jibril 'alaihis-salam menjawab: Muhammad. Jibril 'alaihis-salam ditanya lagi: Adakah dia telah diutus sebagai rasul? Jibril 'alaihis-salam menjawab: Ya, dia telah diutus sebagai rasul. Pintu pun dibukakan kepada kami. Ketika aku bertemu dengan Nabi Idris 'alaihis-salam dia terus menyambutku dan mendoakan aku dengan kebaikan. Firman Allah Subhaanahu wa Ta'aalaa Yang artinya: Dan kami telah menganggkat ke tempat yang tinggi darjatnya. Aku dibawa lagi naik ke langit kelima. Jibril 'alaihis-salam meminta supaya dibukakan pintu. Kedengaran suara bertanya lagi: Siapakah engkau? Dijawabnya: Jibril. Jibril 'alaihis-salam ditanya lagi: Siapakah bersamamu? Jibril 'alaihis-salam menjawab: Muhammad. Jibril 'alaihis-salam ditanya lagi: Adakah dia telah diutus sebagai rasul? Jibril 'alaihis-salam menjawab: Ya, dia telah diutus sebagai rasul. Pintu pun dibukakan kepada kami. Ketika aku bertemu dengan Nabi Harun 'alaihis-salam dia terus menyambutku dan mendoakan aku dengan kebaikan. Aku dibawa lagi naik ke langit keenam. Jibril 'alaihis-salam meminta supaya dibukakan pintu. Kedengaran suara bertanya lagi: Siapakah engkau? Dijawabnya: Jibril. Jibril 'alaihis-salam ditanya lagi: Siapakah bersamamu? Jibril 'alaihis-salam menjawab: Muhammad. Jibril 'alaihis-salam ditanya lagi: Adakah dia telah diutus sebagai rasul? Jibril 'alaihis-salam menjawab: Ya, dia telah diutus sebagai rasul. Pintu pun dibukakan kepada kami. Ketika aku bertemu dengan Nabi Musa 'alaihis-salam dia terus menyambutku dan mendoakan aku dengan kebaikan. Aku dibawa lagi naik ke langit ketujuh. Jibril 'alaihis-salam meminta supaya dibukakan. Kedengaran suara bertanya lagi: Siapakah engkau? Dijawabnya: Jibril. Jibril 'alaihis-salam ditanya lagi: Siapakah bersamamu? Jibril 'alaihis-salam menjawab: Muhammad. Jibril 'alaihis-salam ditanya lagi: Adakah dia telah diutus sebagai rasul? Jibril 'alaihis-salam menjawab: Ya, dia telah diutus sebagai rasul. Pintu pun dibukakan kepada kami. Ketika aku bertemu dengan Nabi Ibrahim 'alaihis-salam dia sedang berada dalam keadaan menyandar di Baitul Makmur. Keluasannya setiap hari memuatkan tujuh puluh ribu malaikat. Setelah keluar mereka tidak kembali lagi kepadanya. Kemudian aku dibawa ke Sidratul Muntaha. Daun-daunnya besar umpama telinga gajah manakala buahnya pula sebesar tempayan. Baginda bersabda: Ketika baginda merayau-rayau meninjau kejadian Allah Subhaanahu wa Ta'aalaa, baginda dapati kesemuanya aneh-aneh. Tidak seorang pun dari makhluk Allah yang mampu menggambarkan keindahannya. Lalu Allah Subhaanahu wa Ta'aalaa memberikan wahyu kepada baginda dengan mewajibkan shalat lima puluh waktu sehari semalam. Tatakala baginda turun dan bertemu Nabi Musa 'alaihis-salam, dia bertanya: Apakah yang telah difardukan oleh Rabbmu kepada umatmu? Baginda bersabda: Shalat lima puluh waktu. Nabi Musa 'alaihis-salam berkata: Kembalilah kepada Rabbmu, mintalah keringanan karena umatmu tidak akan mampu melaksanakannya. Aku pernah mencuba Bani Israel dan memberitahu mereka. Baginda bersabda: Baginda kemudiannya kembali kepada Rabb dan berkata: Wahai Rabbku, berilah keringanan kepada umatku. Lalu Allah Subhaanahu wa Ta'aalaa mengurangkan lima waktu shalat dari baginda. Baginda kembali kepada Nabi Musa 'alaihis-salam dan berkata: Allah telah mengurangkan lima waktu shalat dariku. Nabi Musa 'alaihis-salam berkata: Umatmu masih tidak mampu melaksanakannya. Kembalilah kepada Rabbmu, mintalah keringanan lagi. Baginda bersabda: Baginda tak henti-henti berulang-alik antara Rabb dan Nabi Musa 'alaihis-salam, sehinggalah Allah Subhaanahu wa Ta'aalaa berfirman Yang artinya : Wahai Muhammad! Sesungguhnya aku fardukan hanyalah lima waktu sehari semalam. Setiap shalat fardu diganjarkan dengan sepuluh ganjaran. Oleh yang demikian, berarti lima waktu shalat fardu sama dengan lima puluh shalat fardu. Begitu juga sesiapa yang berniat, untuk melakukan kebaikan tetapi tidak melakukanya, nescaya akan dicatat baginya satu kebaikan. Jika dia melaksanakannya, maka dicatat sepuluh kebaikan baginya. Sebaliknya sesiapa yang berniat ingin melakukan kejahatan, tetapi tidak melakukannya, nescaya tidak sesuatu pun dicatat baginya. Seandainya dia mengerjakannya, maka dicatat sebagai satu kejahatan baginya. Baginda turun hingga sampai kepada Nabi Musa 'alaihis-salam, lalu aku memberitahu kepadanya. Dia masih lagi berkata: Kembalilah kepada Rabbmu, mintalah keringanan. Baginda menyahut: Aku terlalu banyak berulang alik kepada Rabb, sehingga menyebabkan aku malu kepadaNya (HR. Bukhari Muslim)

BULAN SUCI DIBAWAH KAKI ZIONIS

Disampaikan pada : Forum Kajian AT-TAUBAH Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf FK. UNDIP/RSUP Dr. Kariadi Semarang, Ahad 23 November 20...