Disampaikan
pada :
Forum
Kajian AT-TAUBAH
Bagian/SMF
Ilmu Penyakit Saraf FK. UNDIP/RSUP Dr. Kariadi
Semarang, Ahad
23 November 2014
Oleh : Ali
Masrum Al-Mudhoffar
Ada dua bahasa yang merupakan mindsetter
berkenaan dengan istilah bulan suci.
Pertama : Istilah dalam bahasa Al-Qur’an dan sunnah Rasul
Kedua : Bahasa non-Al-Qur’an dan sunnah Rasul.
Bulan suci sebagaimana
istilah-istilah yang lain, dalam istilah bahasa Al-Qur’an dan Sunnah Rasul
berbeda dengan istilah yang sama dalam bahasa non Al-Qur’an dan sunnah Rasul.
Perbedaan itu adalah perbedaan
konotasi, makna dan filosofinya yang membentuk pola fikir dan sikap mental
orangnya.
Kajian ini dimaksudkan untuk menguasai
pemahaman bulan suci, istilah, konotasi, makna, filosofinya dalam bahasa
Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam serta
pola fikir dan sikap mental yang dibentuknya (mindset).
Karenanya istilah bulan suci,
konotasi, makna, filosofi serta mindsettershipnya dalam bahasa non
Al-Qur’an dan sunnah Rasul mesti ditanggalkan untuk diganti dengan atau
dimakmumkan pada konotasi, makna, filosofi serta mindsettershipnya dalam
bahasa Al-Qur’an dan sunnah Rasul
Bulan suci dalam Bahasa Indonesia
yang dalam bahasa Arabnya disebut bulan haram setidaknya mempunyai dua makna :
Pertama : Suci dari syirk, dosa, ma’shiyat dan adzab
Kedua : Sakral.
Bulan-bulan
suci yang empat adalah : Rajab, Dzu’l-Qa’dah,
Dzu'l-Hijjah dan Muharram. Dinamakan bulan SUCI yang dalam bahasa Arab disebut bulan HARAM karena keagungan kesucian dan haram
dinajisi dosa.
Dosa itu jiwa pelakunya kotor.
Dan demi jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan
jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS. 91/Asy-Syams: 7-10)
Dosa besar yang tak diampuni itu
syirk, menyekutukan Allah dengan yang lain. Syirk itu orangnya najis.
Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka
janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini. Dan jika kalian
khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan kecukupan kepada
kalian dari karunia-Nya, jika
Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Mahabijaksana. (QS. 9/At-Taubah : 28)
Bulan
Suci Dalam Al-Qur’an :
Sungguh Allah Subhanahu wa
Ta'aalaa telah berfirman :
"Sesungguhnya
bilangan bulan disisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya ada empat bulan haram.
Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menganiaya diri
kalian dalam bulan yang empat itu." (QS.9/At-Taubah:36)
Makna dari Bulan Haram
Bulan haram yang telah disebutkan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa pada ayat diatas adalah semakna dengan apa yang telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :
Makna dari Bulan Haram
Bulan haram yang telah disebutkan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa pada ayat diatas adalah semakna dengan apa yang telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :
Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Yahya
bin Habib Al-Haritsy dalam lafazh yang hapir sama keduanya mengatakan : Abdul
Wahab Ats-Tsaqafy menceritakan kepada kami dari Ayyub dari Ibnu Sirin dari Ibnu
Abi Bakrah dari Abu Bakrah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
bahwasanya beliau bersabda : "Sesungguhnya zaman ini telah berjalan
(berputar) sebagaimana perjalanan awalnya ketika Allah menciptakan langit dan
bumi, yang mana satu tahun itu ada dua belas bulan. Diantaranya ada empat bulan
haram, tiga bulan yang (letaknya) berurutan, yaitu Dzul-Qa'dah, Dzul-Hijjah,
dan Muharram, kemudian bulan Rajab Mudhar yang berada diantara dua Jumada dan
Sya'ban." (HR. Al Bukhari: 4385 dan Muslim: 1679)
Dalam hadits diatas, disebutkan secara terperinci apa saja bulan-bulan haram yang telah Allah sebutkan didalam ayatnya. Yaitu tiga bulan berurutan yang dimulai dari Bulan Dzul-Qa'dah sampai bulan Muharram. Dan satu bulan yang terletak diantara bulan Jumada Akhir dan Sya'ban yaitu bulan Rajab. Itulah empat bulan yang telah dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya :
Dalam hadits diatas, disebutkan secara terperinci apa saja bulan-bulan haram yang telah Allah sebutkan didalam ayatnya. Yaitu tiga bulan berurutan yang dimulai dari Bulan Dzul-Qa'dah sampai bulan Muharram. Dan satu bulan yang terletak diantara bulan Jumada Akhir dan Sya'ban yaitu bulan Rajab. Itulah empat bulan yang telah dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya :
"diantaranya ada empat bulan
haram."
Dan yang zhahir dari penamaan haram pada bulan-bulan tersebut karena Allah telah mengharamkan (melarang) kaum muslimin untuk berperang didalamnya, oleh karena itu disebut dengan hurum yang merupakan bentuk jamak dari kata ‘haram’. Sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa (yang artinya):
Dan yang zhahir dari penamaan haram pada bulan-bulan tersebut karena Allah telah mengharamkan (melarang) kaum muslimin untuk berperang didalamnya, oleh karena itu disebut dengan hurum yang merupakan bentuk jamak dari kata ‘haram’. Sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa (yang artinya):
"Sesungguhnya bilangan bulan di fihak Allah ialah dua belas bulan, dalam
ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya ada empat
bulan haram."
Dan juga firman Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa (yang artinya) :
Dan juga firman Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa (yang artinya) :
Mereka bertanya kepadamu tentang
berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah
dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah,
(menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya,
lebih besar (dosanya) di fihak Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya)
daripada pembunuhan. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka
(dapat) mengembalikan kalian murtad dari ajaran hidup kalian (kepada
kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kalian
dari ajaran hidupnya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang
sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka,
mereka kekal di dalamnya. (QS. 2/Al-Baqarah : 217)
Maka (dari ayat diatas) jelas pada kita tentang haram (dilarang) nya berperang
dalam bulan-bulan tersebut, dan itu merupakan rahmat Allah terhadap segenap
hambaNya, agar mereka bisa melakukan perjalanan (dengan aman) didalamnya, dan
agar mereka bisa melaksanakan haji dan umrah pada bulan-bulan tersebut."
(Majmu' Fatawa Ibn Baz, jilid ke-18, hal.433)
Hikmah Bulan-bulan Haram
Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa berfirman:
Hikmah Bulan-bulan Haram
Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa berfirman:
فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
"Maka janganlah kalian
menganiaya diri kalian dalam bulan (haram) yang empat itu." (QS.
9/At-Taubah : 36)
"(Janganlah kalian menganiaya diri kalian) yakni pada seluruh bulan yang ada, kemudian dikhususkan dari bulan-bulan itu empat bulan yang Allah telah menjadikannya sebagai bulan-bulan haram, yang telah dilebihkan kedudukannya daripada bulan yang lain.
"(Janganlah kalian menganiaya diri kalian) yakni pada seluruh bulan yang ada, kemudian dikhususkan dari bulan-bulan itu empat bulan yang Allah telah menjadikannya sebagai bulan-bulan haram, yang telah dilebihkan kedudukannya daripada bulan yang lain.
Pada bulan haram :
Pertama : (Senjata) perang
diletakkan.
Kedua : Perbuatan dosa yang
dilakukan didalamnya lebih besar di hadapan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang kafir
dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan Masjidilharam yang telah Kami
jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di pedalaman dan
siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zhalim, niscaya
akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih. (QS. 22/Al-Hajj : 25)
Ketiga : Amalan shalih yang
dilakukan, balasan nilai amalnya lebih agung.
Bulan MUHARRAM
Sungguh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, ketika ada seorang yang datang kepada beliau dan bertanya tentang shalat yang paling utama dan puasa yang paling utama :
Bulan MUHARRAM
Sungguh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, ketika ada seorang yang datang kepada beliau dan bertanya tentang shalat yang paling utama dan puasa yang paling utama :
Abdurrahman dan Abu Sa’id
menceritakan kepada kami, keduanya mengatakan dari Zaidah dari Abdul Malik bin
‘Umair dari Muhammad bin Muntasyir dari Humaid bin Abdurrahman dari Abu
Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam ditanya : Yang manakan shalat yang lebih afdhal setelah
shalat-shalat wajib. Beliau bersabda : "Shalat di penghujung malam.
Dikatakan : Yang manakah shiyam
yang lebih afdhal setelah Ramadhan ?
Beliau bersabda : Puasa bulan Allah
yang kalian menyebutnya Muharram." (HR. Ahmad)
Pandangan yang lebih kuat dari para ahli adalah wajibnya berpuasa di hari 'Asyura sebelum turun kewajiban berpuasa kepada kaum muslimin di bulan Ramadhan, maka setelah turun kewajiban tersebut pada tahun kedua setelah hijrahnya Nabi 'alaihish-sh shalaatu wa assalaam, maka berpuasa di hari ‘Asyura menjadi mustahab, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda :
Pandangan yang lebih kuat dari para ahli adalah wajibnya berpuasa di hari 'Asyura sebelum turun kewajiban berpuasa kepada kaum muslimin di bulan Ramadhan, maka setelah turun kewajiban tersebut pada tahun kedua setelah hijrahnya Nabi 'alaihish-sh shalaatu wa assalaam, maka berpuasa di hari ‘Asyura menjadi mustahab, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda :
"Sesungguhya
Asyura ini adalah satu hari diantara hari-hari milik Allah Ta'aalaa,
maka bagi siapa yang hendak berpuasa maka (hak) baginya untuk berpuasa dan bagi
siapa yang ingin meninggalkan maka (hak) baginya pula untuk
meninggalkannya." (HR. Muslim: 1126)
Dan bagi mereka yang menjalankan ibadah puasa pada hari yang mulia ini, sungguh akan bergembira dengan sebuah hadits yang telah datang dari Abu Qatadah, tatkala ada seorang yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang berpuasa di hari 'Asyura, maka beliau bersabda :
Dan bagi mereka yang menjalankan ibadah puasa pada hari yang mulia ini, sungguh akan bergembira dengan sebuah hadits yang telah datang dari Abu Qatadah, tatkala ada seorang yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang berpuasa di hari 'Asyura, maka beliau bersabda :
Sulaiman bin Harb dan Musaddad
berkata : Hammad bin Zaid menceritakan kepada kami dari Ghailan bin Jarir dari
Abdullah bin Ma’bad Az-Zimmany dari Abu Qatadah bahwa seseorang datang kepada
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata : Wahai Rasulullah,
bagaimana dengan orang yang berpuasa dua hari dan tidak puasa sehari ?
Rasulullah bersabda : Dan apakah
itu seseorang menjadi berat ?
Orang itu bertanya : Wahai
Rasulullah, bagaimana dengan orang yang sehari puasa, sehari tidak puasa ?
Rasulullah bersabda : Itu adalah
puasa Dawud.
Orang itu bertanya : Ya Rasulullah
bagaimana dengan orang yang berpuasa sehari, tidak puasa dua hari ?
Rasulullah bersabda : Aku mau bahwa
dibebani itu.
Kemudian Rasulullah bersabda : (1)
tiga hari setiap bulan (2) dan Ramadhan ke Ramadhan maka ini adalah puasa
sepanjang masa (3) dan puasa Arafah aku mengharapkan kepada Allah bahwa Allah
menggugurkan (dosa) tahun yang sebelumnya
(HR. Muslim dan Abu Dawud)
Beberapa Pelajaran
Puasa 'Asyura (berpuasa di hari kesepuluh dari bulan Muharram), adalah :
Pertama : Melaksanakan puasa satu hari sebelumnya, yaitu pada tanggal sembilan Muharram, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda :
Puasa 'Asyura (berpuasa di hari kesepuluh dari bulan Muharram), adalah :
Pertama : Melaksanakan puasa satu hari sebelumnya, yaitu pada tanggal sembilan Muharram, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda :
Al-Hasan bin Ali Al-Hulwani
menceritakan kepada kami dari Ibnu Abi Maryam dari Yahya bin Ayyub dari Ismail
bin Umayyah, bahwasanya dia mendengar Abu Ghathafan bin Tharif Al-Murry berkata
: Aku mendengar Abdullah bin Abbas berkata : Ketika Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam puasa ‘Asyura dan memerintahkan puasa ‘Asyura itu, para sahabat bertanya :
Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan
Nashara. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Jika masih mendapati tahun depan jika
Allah menghendaki, maka kita akan berpuasa pada hari yang kesembilan."
Ibnu Abbas meengatakan : Belum sapai pada tahun berikutnya, Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam wafat (HR. Muslim: 1134)
Kedua : Bahwasanya hari 'Asyura dalam sejarah Islam melewati empat fase, yaitu:
1. Tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berpuasa pada hari tersebut bersama kaum jahiliah di Mekkah.
2. Tatkala beliau shallallahu 'alaihi wa sallam beranjak dari Mekkah menuju Madinah, dan mendapati kaum yahudi berpuasa pada hari Asyura. Maka beliau pun berpuasa dan memerintahkan para sahabatnya agar berpuasa pada hari tersebut.
3. Setelah turunnya kewajiban untuk berpuasa di bulan Ramadhan, berpuasa di hari 'Asyura menjadi mustahab.
Kedua : Bahwasanya hari 'Asyura dalam sejarah Islam melewati empat fase, yaitu:
1. Tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berpuasa pada hari tersebut bersama kaum jahiliah di Mekkah.
2. Tatkala beliau shallallahu 'alaihi wa sallam beranjak dari Mekkah menuju Madinah, dan mendapati kaum yahudi berpuasa pada hari Asyura. Maka beliau pun berpuasa dan memerintahkan para sahabatnya agar berpuasa pada hari tersebut.
3. Setelah turunnya kewajiban untuk berpuasa di bulan Ramadhan, berpuasa di hari 'Asyura menjadi mustahab.
Abu Bakr bin Abu Syaibah dari
Abdullah bin Numair dan lafazh baginya pula, Ibnu Numair menceritakan kepada
kami dari Bapaknya dari ‘Ubaidullah dari Nafi’ dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu
‘anhumaa : Di masa Jahiliah orang-orang berpuasa Asyura. Dan bahwasanya
Rasulullah shallalaaahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang muslim
berpuasa Asyura sebelum difardhukan (puasa) Ramadhan. Maka tatkala telah
difardhukan puasa Ramadhan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : Sesungguhnya ‘Asyura adalah hari dari hari-hari Allah, maka
barangsiapa menghendaki ia puasa ‘Asyura dan barangsiapa menghendaki, ia
meninggalkannya (HR. Muslim).
4. Diakhir hayatnya shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau berniat untuk berpuasa pada hari kesembilan dari Muharram guna menyelisihi kaum yahudi yang hanya mengkhususkan puasa mereka pada hari kesepuluh ('Asyura).
Ketiga : Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin mengatakan :
في مسند الإمام أحمد: (صُوْمُوْا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ يَوْمًا
بَعْدَهُ خَالِفُوْا الْيَهُوْدَ). وَ مُخَالَفَةُ الْيَهُوِدِ تَكُوْنُ إِمَّا بِصَوْمِ
الْيَوْمِ التَّاسِعِ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمِ:
(لَئِنْ بَقَيْتُ إِلَى قَابِلٍ َلأَصُوْمَنَّ التَّاسِعَ)
Dalam kitab Al-Musnad, Ahmad
menyebutkan (Sabda Rasul) : Puasalah
kalian sehari sebelum ‘asyura atau sehari setelah ‘asyura untuk kalian membedakan
dari Yahudi. Pada hari berbeda dengan (asyura) orang Yahudi yang ada, adakalanya
yang berpuasa di hari kesembilan sebagaimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : Sungguh jika aku masih hidup sampai tahun depan, aku
benar-benar puasa di hari kesembilan.
Dan telah disebutkan oleh Ibnul
Qayyim Rahimahullah dalam Zadul Ma'ad, bahwasanya berpuasa di hari Asyura itu
ada empat macam:
1. Berpuasa hanya pada tanggal sepuluh (Muharram).
Dari 'Abdullah bin 'Abbas, dia berkata : Saat Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam datang ke kota Madinah, maka beliau mendapati kaum yahudi
berpuasa pada hari kesepuluh dari bulan Muharram, maka beliau bertanya pada
mereka: "Mengapa kalian berpuasa pada hari ini?", mereka pun
menjawab: "Ini merupakan hari dimana Allah ta'ala telah menyelamatkan Musa
dari kejahatan Fir'aun dan bala tentaranya, dan pada hari ini pula Allah
menenggelamkan mereka, maka Musa pun berpuasa dalam rangka bersyukur atas
nikmat tersebut, dan kami pun berpuasa sebagaimana Musa berpuasa." Ketika
mendengarkan jawaban itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda :
"Kami lebih berhak untuk mengikuti Musa daripada kalian", maka beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan kami untuk berpuasa." (HR. Al Bukhari: 2004, dan Muslim: 1130)
2. Bersamaan dengan tanggal sembilannya.
"Jika
masih mendapati tahun depan dengan izin Allah, maka aku akan berpuasa pada hari
yang kesembilan." (HR. Muslim: 1134)
3. Bersamaan dengan tanggal sebelasnya.
3. Bersamaan dengan tanggal sebelasnya.
4. Berpuasa pada tiga hari
tersebut, yang juga terdapat faedah didalamnya, yaitu puasa tiga hari dalam
satu bulan." (Majmu' Fatawa wa Rasail Al 'Utsaimin: jilid ke-20, hal.38)
http://salafybpp.com/index.php/fataawa/136-keutamaan-bulan-bulan-haram-di-dalam-islam
http://salafybpp.com/index.php/fataawa/136-keutamaan-bulan-bulan-haram-di-dalam-islam
RAJAB
Rajab, bulan ketujuh dari tahun
qamariah atau kalender Hijriah. Rajab berasal dari Rujuub artinya : rasa
penghormatan dan ta’ajub (kagum) pada apa yang terjadi. Di bulan ini Allah
memperistiwakan mu’jizat pada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
: Isra’ dan Mi’raj.
Dan juga disebut Rajab Mudhar karena
qabilah Mudhar tidak merubah posisi bulan Rajab bahkan tetap meneguhkan pada
waktunya berbeda dengan qabilah-qabilah Arab lainnya. Qabilah-qabilah Arab
lainnya merubah dan mengganti posisi bulan-bulan sesuai posisi mereka saat
perang. Suku Mudhar sangat mengutamakan penghormatan dan kesucian bulan Rajab,
maka bulan ini biasa disebut bulan Mudhar. Sadangkan qabilah-qabilah Arab
lainnya biasa meruba-rubah posisi bulan-bulan suci itu disebut an-nasiy-u.
Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa berfirman :
Sesungguhnya
mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran. Disesatkan
orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya
pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat
mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, maka mereka
menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Syaitan) menjadikan mereka memandang
perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang kafir. (QS. 9/At-Taubah : 37)
Bulan Rajab adalah bulan mulia disebut sebagai bulan Kerinduan
karena rahmat Allah sangat dirindukan. Orang Arab sangat merindukan karunia di
bulan itu maka mereka meninggalkan perang sebagai pengagungan bulan itu dan
khawatir lepas dari peluang dirahmati Allah.
DZUL-QA’DAH dan DZUL-HIJJAH
(Musim)
haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya
dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik
dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu
kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai
orang-orang yang berakal. (QS. 22/Al-Hajj : 197)
Difirmankan
Allah bahwa haji itu “asyhurun ma’luumaat” bulan-bulan yang diketahui
yaitu bulan Syawwal, Dzul-qa’dah dan 10 hari di bulan Dzul-hijjah. Disebut
“telah diketahui” karena telah diketahui sejak Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘alaihimaas-salaam.
Waktu untuk ibadah haji tidak perlu penjelasan seperti ibadah-ibadah yang lain.
Kesucian
bulan-bulan haji sebagai bulan haram, dalam hal ini Dzul-qa’dah dan Dzul-hijjah
pada jantungnya yaitu ketika orang melaksanakan ibadah haji telah berihram,
maka diharamkan (harus disucikan dari) berbantah-bantahan. Apalagi berbuat
tidak senonoh (rafats). Apalagi berbuat fasik (ma’shiyat). Apalagi yang tak
perlu disebut-sebut lagi, membunuh atau perang.
Kesucian
bulan haji adalah substansi dan esensinya adalah diharamkannya penodaan dan
penajisan yang diperjuangkan Rasulullah.
Lembaran
Kenabian Tertulis sebagai Pembuka
Begitu
Rasulullah masuk Yatsrib beliau mengganti nama Yatsrib yang mengandung konotasi
olok-olok, caci-maki, cela-mencela menjadi Madinah yang berarti tempat, masa
dan alat ber-dien (berajaran hidup) dengan dien (ajaran hidup) yang haq untuk
menghadapi misi ber-dien (berajaran hidup) yang tidak haq, sebagaimana firman
Allah :
Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari
kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan
Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu
orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar
jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (QS. 9/At-Taubah : 29)
Kemudian
Rasulullah memulai sejarah dengan kalender hijriyah dengan lembaran kenabian
tertulis yang dimulai dengan dictum :
Diktum 1 :
Dengan asma Allah yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang. Inilah naskah tertulis dari Muhammad Nabi yang ummy antara
orang-orang mukminin dan muslimin dari Quraisy dan Yatsrib dan orang yang
mengikutinya kemudian bergabung bersamanya dan berjihad bersamanya. Bahwasanya
mereka adalah umat yang satu tersendiri dari manusia lainnya
Kemudian
termuat diktum-diktum batas kesucian ajaran hidup dari Allah ini, diantaranya :
Diktum 6 :
Bahwasanya orang-orang mukminin yang
muttaqin bertanggung jawab menghadapi orang yang membangkang dari kalangan
mereka atau berencana tipu muslihat pemerdayaan jahat atau dosa atau permusuhan
atau kerusakan di antara kalangan orang-orang mukminin. Dan bahwasanya
tangan-tangan orang-orang mukmin menghadapi pelaku makar itu adalah satu
kesatuan secara keseluruhan walaupun pelaku makar itu adalah anak dari salah
seorang diantara mereka.
Diktum 7 :
Seorang mukmin tidak boleh membunuh
seorang mukmin yang lain dalam rangka membela orang kafir. Dan tak seorangpun
yang kafir diberi pertolongan dalam perbuatan serangan terhadap seorang mukmin
Diktum 9 :
Bahwasanya orang-orang mukminin,
sebagian mereka pelindung, penolong, pemimpin dan pembela sebagian yang lain
sebagai suatu kesatuan tersendiri dari manusia lainnya.
Diktum 16 :
Bahwasanya tidak halal bagi seorang
mukmin yang terikat ikrar dengan apa yang ada dalam shahifah ini dan beriman
kepada Allah dan Hari Akhir menolong orang yang mengada-ada terhadap kami dan
tak ada yang melindungi orang itu. Dan barangsiapa menolong dan/atau
melindunginya maka sesungguhnya baginyalah la'nat Allah dan juga kemurkaan-Nya
pada Hari Kiamat dan tak ada baginya yang memalingkan dan yang menjadi tebusan
pengganti dari pada la'nat itu.
Deklarasi
Pemungkas Rasulullah
Pada tahun ke-10 H/631 M di padang
wuquf di Arafah, pada hari Jum’at tanngal 9 Dzulhijjah berkhotbah dan bersabda
:
Sesungguyhnya darah kalian adalah
suci atas kalian sebagaimana sucinya hari kalian ini, di bulan suci kalian ini,
di negeri kalian ini. Ingatlah setiap urusan Jahiliah ada di bawah kedua kakiku
ini diletakkan.
Dan tuntut bela darah Jahiliah telah
diletakkan, dan sesungguhnya tuntut bela darah yang pertama kali aku letakkan
dari darah kita adalah darah Ibnu Rabi’ah bin Al-Harits, adalah dia disusukan
pada Bani Sa’d kemudian Hudzail membunuhnya.
Dan riba Jahiliah telah diletakkan,
dan riba yang pertama kali aku letakkan dari kita adalah riba ‘Abbas bin Abdul
Muththalib. Maka sesungguhnya ia telah diletakkan semuanya.
Kini Zionis Yahudi penguasa kerajaan
riba bisa mengatakan apa yang dikhutbahkan oleh Muhammad untuk penghapusan riba
dan tuntut bela darah mu’minin yang tertumpah diletakkan di bawah kaki Zionis.
Persempit ruang untuk shadaqah karena semua didominasi praktek riba dan darah
Mu’minin yang tertumpah tak ada lagi tuntutan bela.