Minggu, 24 Juni 2012

Shalat Mi'raj Mukminin?



Tuesday, December 9, 2008, berjudul : Shalat Adalah Mikraj Bagi Orang Beriman ditulis dalam bahasa Malaysia sebagai berikut :

Peristiwa Isra’- Mikraj adalah merupakan satu peristiwa yang sahih lagi benar-benar berlaku ke atas batang tubuh dan roh Baginda Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam.
Ianya merupakan satu perkara yang tidak dapat dimungkiri lagi akan kejadiannya, karena nas-nas yang menerangkannya adalah muktamad berdasarkan ayat-ayat suci Al-Quranul Karim dan hadist-hadist yang sahih.

Peristiwa Isra’-Mikraj ini bukan sahaja satu perkara yang menunjukkan kebesaran Allah Ta’ala sebagai Rabb Yang Maha Berkuasa, bahkan ianya juga merupakan pembatas di antara iman dan kufur. Lantaran ini tercatat di dalam sirah ( perjalanan hidup ) Baginda Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam akan adanya golongan yang murtad lantaran tidak mahu beriman dengan peristiwa ini.

Secara ringkasnya : ISRA’ ialah berjalan malam . Maksudnya : Perjalanan Baginda Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam di malam hari dengan menaiki sebuah kenderaan khas yang ajaib ( yang kita kenali sebagai “ Buraq “ ), daripada Makkah al-Mukarramah ke Palestin yang pada waktu itu dikenali sebagai “ Syam “. Manakala “ MIKRAJ “ pula ialah perjalanan naiknya Baginda Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam ke atas dengan merentasi kesemua lapisan langit dan diakhiri dengan menemui Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Di dalam pertemuan inilah, Allah Ta’ala telah mengurniakan sebuah hadiah yang amat bernilai, yang tiada taranya yaitu SHALAT.

Adapun lafazh yang dianggap hadits oleh kebanyakan masyarakat yaitu :
الصَّلاَةُ مِعْرَاجُ الْمُؤْمِنِيْنَ
“ Shalat itu adalah mikraj bagi orang – orang yang beriman “ tidaklah kami ketahui – sekadar kemampuan ilmu kami yang sedikit ini – daripada manakah asalnya ?.
Sebenarnya, kami telah cuba mencari di dalam sembilan kitab hadist yang utama ( Sunan Tis’ah ) dan cuba juga mencarinya dengan menggunakan kitab-kitab “ Takhrij al-Hadist “ ( Pencarian sumber asal sesuatu hadist ), namun nampaknya tidak kami menemuinya.

Setahu kami, lafazh tersebut adalah satu ibarat ataupun kiasan ataupun misalan ataupun perumpaan yang diungkapkan oleh para ulama’ Islam, khasnya mereka yang mendalami ilmu Tasawuf. Dan ada juga yang mengatakan bahawa ungkapan ataupun lafazh itu pernah diungkapkan oleh Al-Imam al-‘Allamah Al-Munawi ( rh ).

Walaupun status ungkapan ataupun perkataan tersebut masih kabur asal-usulnya secara pasti hingga ke saat jawapan ini ditulis, namun itu tidaklah bermakna bahawa perkataan itu tidak boleh diterima.


Isi dan maksud perkataan tersebut sudah tentu sahih dan betul . Lihat sahaja peristiwa ketika Baginda Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam mikraj ke atas lapisan-lapisan langit, apakah kesudahan yang paling utama di dalam peristiwa tersebut ?. Sudah tentu kesudahannya ialah Baginda Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam menerima kewajipan melaksanakan shalat ( shalat ) 5 waktu sehari-semalam.

Mengapakah kewajipan-kewajipan lain diterima dari “ atas “ ke “ bawah “ ( bumi ) , walhal kewajipan shalat pula diambil sendiri oleh Baginda Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam di “ atas “ ?.

Mengapakah kewajipan-kewajipan lain disampaikan kepada Baginda Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam melalui utusan wahyu, Malaikat Jibril 'alaihis-salam, walhal ibadat shalat pula tidak sedemikian, malahan Baginda Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam sendiri “ dijemput “ menemui Rabbnya “ di atas “ ?.


Ini semua menunjukkan bahawa shalat itu merupakan ibadat yang paling utama berbanding ibadat-ibadat selainnya dan ianya merupakan ibadat yang terpenting sekali, yang wajib dilakukan oleh semua orang yang mengaku sebagai Islam !.

Samalah seperti seorang Raja. Jika seorang raja memerintahkan seorang laksamana dengan satu arahan yang disampaikan secara bertulis ataupun melalui utusan khas daripada baginda, sudah tentu ianya adalah biasa sahaja. Akan tetapi jika Raja sendiri yang memanggil ( menjemput ) si laksmana itu mengadap, sudah pasti arahan yang bakal baginda berikan itu adalah arahan yang SANGAT PENTING DAN PALING UTAMA. Inilah perumpamaannya dengan kewajipan shalat itu menurut pandangan Al-‘Allamah Asy-Syeikh Al-Imam Muhammad Mutawalli Asy-Sya’arawi ( rh ).

Dengan kata lain bolehlah kita menyimpulkan : “ Baginda Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam sendiri dijemput oleh Allah Ta’ala untuk berbicara dengan Allah Ta’ala ketika peristiwa mikraj, maka jika kita semua hendak “ mikraj “ ( berbicara dan bermunajat ) dengan Allah Ta’ala, maka marilah kita lakukan shalat dengan penuh khusyuk dan tawadhuk. Dengan cara itu, hati kita sendiri akan berbicara ( mikraj ) kepada Rabb Yang Maha Agung, akan berdoa dan memuja-muji kebesaran-Nya dan akan memohon berbagai-bagai permohonan daripada-Nya “.


Tidak syak lagi shalat adalah mikraj bagi orang-orang yang beriman karena di dalamnya, seseorang hamba itu boleh berbicara, memuja-muji dan bermohon ( doa ) kepada Rabb mereka ; Allah Ta’ala.

Shalat sebagai cara kita berinteraksi dengan Allah Ta’ala ini sendiri telah digambarkan oleh Baginda Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam dengan sabdanya :
Artinya : Riwayat Saidina ‘Abdullah ( radhiyallaahu 'anhu ) Bin Saidina ‘Umar al-Khattab ( radhiyallaahu 'anhu ) menyebut : Pernah Baginda Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam beriktikaf dan berucap kepada manusia dengan sabdanya : “ Sesungguhnya jika salah-seorang daripada kamu menunaikan shalat, maka itu berarti dia sedang bermunajat kepada (berbicara dengan) Rabbnya. Maka hendaklah salah seorang kalian (yang bermunajat itu) memperhatikan apakah isi-isi munajatnya (perbicaraannya) itu terhadap Rabbnya dan janganlah sebagian kalian sama sebagian yang lain saling kuat-menguatkan ( mengeraskan ) bacaannya di dalam shalat “
Hadis sahih diriwayatkan oleh Al-Imam al-Kabir Ahmad Bin Hanbal ( rh ).

Larangan ini bertujuan agar kita tidak mengganggu makmum di sebelah dengan bacaan kita yang kuat. Selain itu ianya berkuat-kuasa bagi seluruh makmum di dalam shalat berjemaah dan bagi mereka yang tidak menunaikan shalat seperti orang yang membaca Al-Qur'anul Karim, berdzikir, berwirid ataupun berborak-borak dengan para jemaah masjid / surau / mushalla. Dan larangan ini dikecualikan bagi majlis-majlis pengajian ilmu, karena tanpa ilmu yang betul, seseorang itu sudah pasti tidak akan dapat melaksanakan shalatnya sebagai mana tuntutan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallaahu'alaihi wa sallam . Dan sudah tentu sekali shalat itu sekali-kali tidak dapat dia gunakannya sebagai “ mikraj”nya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

RUJUKAN & SARAN PEMBACAAN :

ISRA’ WA MIKRAJ
Oleh : Al-Imam Asy-Syeikh Muhammad Mutawalli Asy-Sya’arawi ( rh )
Diterjemahkan Oleh : Noraine Abu
Terbitan : Dinie Publisher , Jalan Masjid India , K. Lumpur

30 / Dzulqa’edah / 1423 H




CATATAN :

Oleh karena lafazh yang dianggap hadits oleh kebanyakan masyarakat yaitu :
الصَّلاَةُ مَعْرَاجُ الْمُؤْمِنِيْنَ
“ Shalat itu adalah mikraj bagi orang – orang yang beriman “ belum bisa dihadirkan kepada kita urutan mata rantai para periwayatnya sambung menyambung sampai pada betul-betul itu sabda Rasulullah maka ia mengandung beban logika, standar dan konsekuensinya. Beban itu diantaranya adalah beban standar dan kualitas spiritual dari lafazh (yang dianggap hadits Rasulullah) yang periwayatannya belum sampai kepada kita, ini berarti adalah beban keraguan yang Allah dan Rasul-Nya tidak membebankannya pada kita.
Beban logika, standar dan konsekuensi apa yang dianggap hadits dari Rasulullah padahal urutan periwayatannya belum bisa dihadirkan mengakibatkan beban itu semacam beban syarat dan rukun shalat sehingga apabila logika, standar dan konsekuensi pernyataan itu pada shalat seseorang tidak terpenuhi, shalat itu dipandang (dihukumi) cacat ataupun bermartabat spiritual rendah, murahan.
Sama halnya dengan penderajatan kepada syari'at, ma'rifat dan hakikat melekat kepada diskrimansi yang bukan ikutan umat dari Rasul-Nya.
Sedangkan mentaati ayat-ayat Allah, mengikuti sunnah kenabian Rasul-Nya yang tak ada pembebanan akan keraguan, spekulasi, untung-untungan, relativitas mapun iseng padanya, ia adalah syari'at, ia adalah ma'rifat, ia adalah hakikat bagi hamba Allah yang diantaranya adalah shalatnya.

Sebaiknya cukuplah dengan logika, standar dan konsekuensi dari pernyataan yang lebih jelas sumbernya yang merupakan hadits atau apalagi ayat Al-Qur'an
Hadits yang lebih jelas itu diantaranya sebagaimana sabda Rasulullah diatas :
فَلْيَعْلَمْ أَحَدُكُمْ مَا يُنَاجِي رَبَّهُ وَلاَ يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ بِالْقِرَاءَةِ فِي الصَّلاَةِ
“Maka hendaklah salah seorang kalian (yang bermunajat itu) memperhatikan apa yang ia munajatkan (bicarakan) kepada Rabbnya dan janganlah sebagian kalian sama sebagian yang lain saling kuat-kuatan ( mengeraskan ) bacaannya di dalam shalat “
Hal ini tidak mengecualikan kegiatan yang menurut pertimbangan akal selayaknya dikecualikan dari larangan meninggikan bacaan atau suara seperti yang dikemukakan diatas yang dinyatakan larangan ini dikecualikan bagi majlis-majlis pengajian ilmu.
Hal itu sesuai dengan yang lebih suci dari peluang kepada keraguan , yaitu ayat Kitab Allah : 

Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu" (QS. 17/Al-Israa' : 110)

Demikian pula yang lebih bisa dirujuk sumbernya dalam hal ini riwayat dari Rasulullah seperti menangisnya beliau sebagai rujukan kekhusyu'an shalat, misalnya :

Dari Abdullah bin Syikhir

Yazid menceritakan kepada kami, ia berkata : Menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Tsabit Al-Bunani dari Mutharrif bin Abdullah dari bapaknya, ia berkata : Aku melihat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam mengerjakan shalat dan di dadanya (seolah) terdapat bunyi air mendidih dalam cerek karena menangis (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasaa'i dan Tirmidzi)

Mi'raj Rasulullah Tidak Menggantikan Wahyu

Mi'raj Rasulullah merupakan peristiwa berkaitan dengan yang ghaib.
Kejadian itu diunggulkan sekaligus menyangkut missinya yang diunggulka pula, yaitu shalat, sebagaimana dikemukakan tersebut.
Mengapakah kewajiban-kewajiban lain diterima dari “ atas “ ke “ bawah “ ( bumi ), sedangkan kewajiban shalat pula diambil sendiri oleh Baginda Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam di “ atas “ ?.
Mengapakah kewajiban-kewajiban lain disampaikan kepada Baginda Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam melalui utusan wahyu, Malaikat Jibril 'alaihis-salam, sedangkan ibadat shalat pula tidak sedemikian, malahan Baginda Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam sendiri “ dijemput “ menemui Rabbnya “ di atas “ ?.

Sekalipun demikian, peristiwa mi'raj ini tak dapat menggantikan wahyu karena Allah Subhaanahu wa Ta'aalaa telah berfirman :
قُلْ لاَ أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللهِ وَلاَ أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلاَ أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَا يُوحَى إِلَيَّ
Katakanlah: "Aku tidak mengatakan kepada kalian, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepada kalian bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. (QS. 6/Al-An'aam : 50)


Firman Allah Tentang Mi'raj

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al- Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari ayat-ayat (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. 17/Al-Israa' : 1)

Hadits Tentang Mi'raj Rasulullah :

حَدِيثُ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُتِيتُ بِالْبُرَاقِ وَهُوَ دَابَّةٌ أَبْيَضُ طَوِيلٌ فَوْقَ الْحِمَارِ وَدُونَ الْبَغْلِ يَضَعُ حَافِرَهُ عِنْدَ مُنْتَهَى طَرْفِهِ قَالَ فَرَكِبْتُهُ حَتَّى أَتَيْتُ بَيْتَ الْمَقْدِسِ قَالَ فَرَبَطْتُهُ بِالْحَلْقَةِ الَّتِي يَرْبِطُ بِهِ اْلأَنْبِيَاءُ قَالَ ثُمَّ دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَصَلَّيْتُ فِيهِ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ خَرَجْتُ فَجَاءَنِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَم بِإِنَاءٍ مِنْ خَمْرٍ وَإِنَاءٍ مِنْ لَبَنٍ فَاخْتَرْتُ اللَّبَنَ فَقَالَ جِبْرِيلُ اخْتَرْتَ الْفِطْرَةَ ثُمَّ عَرَجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ فَقِيلَ مَنْ أَنْتَ قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ قِيلَ وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ قَالَ قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِآدَمَ فَرَحَّبَ بِي وَدَعَا لِي بِخَيْرٍ ثُمَّ عَرَجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ الثَّانِيَةِ فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَم فَقِيلَ مَنْ أَنْتَ قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ قِيلَ وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ قَالَ قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِابْنَيِ الْخَالَةِ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَيَحْيَى ابْنِ زَكَرِيَّاءَ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِمَا فَرَحَّبَا وَدَعَوَا لِي بِخَيْرٍ ثُمَّ عَرَجَ بِي إِلَى السَّمَاءِ الثَّالِثَةِ فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ فَقِيلَ مَنْ أَنْتَ قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِيلَ وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ قَالَ قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِيُوسُفَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا هُوَ قَدْ أُعْطِيَ شَطْرَ الْحُسْنِ فَرَحَّبَ وَدَعَا لِي بِخَيْرٍ ثُمَّ عَرَجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ الرَّابِعَةِ فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَم قِيلَ مَنْ هَذَا قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ قَالَ وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ قَالَ قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِإِدْرِيسَ فَرَحَّبَ وَدَعَا لِي بِخَيْرٍ قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ ( وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًّا ) ثُمَّ عَرَجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ الْخَامِسَةِ فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ قِيلَ مَنْ هَذَا قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ قِيلَ وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ قَالَ قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِهَارُونَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَحَّبَ وَدَعَا لِي بِخَيْرٍ ثُمَّ عَرَجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ السَّادِسَةِ فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَم قِيلَ مَنْ هَذَا قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ قِيلَ وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ قَالَ قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِمُوسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَحَّبَ وَدَعَا لِي بِخَيْرٍ ثُمَّ عَرَجَ إِلَى السَّمَاءِ السَّابِعَةِ فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ فَقِيلَ مَنْ هَذَا قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِيلَ وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ قَالَ قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِإِبْرَاهِيمَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسْنِدًا ظَهْرَهُ إِلَى الْبَيْتِ الْمَعْمُورِ وَإِذَا هُوَ يَدْخُلُهُ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ لاَ يَعُودُونَ إِلَيْهِ ثُمَّ ذَهَبَ بِي إِلَى السِّدْرَةِ الْمُنْتَهَى وَإِذَا وَرَقُهَا كَآذَانِ الْفِيَلَةِ وَإِذَا ثَمَرُهَا كَالْقِلاَلِ قَالَ فَلَمَّا غَشِيَهَا مِنْ أَمْرِ اللهِ مَا غَشِيَ تَغَيَّرَتْ فَمَا أَحَدٌ مِنْ خَلْقِ اللهِ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَنْعَتَهَا مِنْ حُسْنِهَا فَأَوْحَى اللهُ إِلَيَّ مَا أَوْحَى فَفَرَضَ عَلَيَّ خَمْسِينَ صَلاَةً فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَنَزَلْتُ إِلَى مُوسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا فَرَضَ رَبُّكَ عَلَى أُمَّتِكَ قُلْتُ خَمْسِينَ صَلاَةً قَالَ ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ التَّخْفِيفَ فَإِنَّ أُمَّتَكَ لاَ يُطِيقُونَ ذَلِكَ فَإِنِّي قَدْ بَلَوْتُ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَخَبَرْتُهُمْ قَالَ فَرَجَعْتُ إِلَى رَبِّي فَقُلْتُ يَا رَبِّ خَفِّفْ عَلَى أُمَّتِي فَحَطَّ عَنِّي خَمْسًا فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى فَقُلْتُ حَطَّ عَنِّي خَمْسًا قَالَ إِنَّ أُمَّتَكَ لاَ يُطِيقُونَ ذَلِكَ فَارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ التَّخْفِيفَ قَالَ فَلَمْ أَزَلْ أَرْجِعُ بَيْنَ رَبِّي تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَبَيْنَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلاَم حَتَّى قَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنَّهُنَّ خَمْسُ صَلَوَاتٍ كُلَّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لِكُلِّ صَلاَةٍ عَشْرٌ فَذَلِكَ خَمْسُونَ صَلاَةً وَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةً فَإِنْ عَمِلَهَا كُتِبَتْ لَهُ عَشْرًا وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا لَمْ تُكْتَبْ شَيْئًا فَإِنْ عَمِلَهَا كُتِبَتْ سَيِّئَةً وَاحِدَةً قَالَ فَنَزَلْتُ حَتَّى انْتَهَيْتُ إِلَى مُوسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ التَّخْفِيفَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ قَدْ رَجَعْتُ إِلَى رَبِّي حَتَّى اسْتَحْيَيْتُ مِنْهُ
Hadits dari Anas bin Malik radhiyallaahu 'anhu katanya: Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam bersabda: Aku telah didatangi Buraq. Yaitu seekor binatang yang berwarna putih, lebih besar dari keledai tetapi lebih kecil dari baghal. Ia merendahkan tubuhnya sehingga perut buraq tersebut mencecah bumi. Baginda bersabda lagi: Lalu aku menungganginya sehingga sampai ke Baitulmaqdis. Baginda bersabda lagi: Aku mengikatnya pada tiang masjid sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para Nabi. Baginda bersabda lagi: Sejurus kemudian aku masuk ke dalam masjid dan mendirikan shalat sebanyak dua rakaat. Setelah selesai aku terus keluar, secara tiba-tiba aku didatangi dengan semangkuk arak dan semangkuk susu oleh Jibril 'alaihis-salam. Aku memilih susu. Lalu Jibril 'alaihis-salam berkata: Engkau telah memilih fitrah. Lalu Jibril 'alaihis-salam membawaku naik ke langit. Ketika Jibril 'alaihis-salam meminta agar dibukakan pintu, kedengaran suara bertanya: Siapakah engkau? Dijawabnya: Jibril. Jibril 'alaihis-salam ditanya lagi: Siapakah bersamamu? Jibril 'alaihis-salam menjawab: Muhammad. Jibril 'alaihis-salam ditanya lagi: Adakah dia telah diutus sebagai rasul? Jibril 'alaihis-salam menjawab: Ya, dia telah diutus sebagai rasul. Lalu dibukakan pintu kepada kami. Ketika aku bertemu dengan Nabi Adam 'alaihis-salam, beliau menyambutku serta mendoakan aku dengan kebaikan. Seterusnya aku dibawa naik ke langit kedua. Jibril 'alaihis-salam meminta supaya dibukakan pintu. Kedengaran suara bertanya lagi: Siapakah engkau? Dijawabnya: Jibril. Jibril 'alaihis-salam ditanya lagi: Siapakah bersamamu? Jibril 'alaihis-salam menjawab: Muhammad. Jibril 'alaihis-salam ditanya lagi: Adakah dia telah diutus sebagai rasul? Jibril 'alaihis-salam menjawab: Ya, dia telah diutus sebagai rasul. Pintu pun dibukakan kepada kami. Ketika aku bertemu dengan Isa bin Mariam dan Yahya bin Zakaria, mereka berdua menyambutku dan mendoakan aku dengan kebaikan. Aku dibawa lagi naik langit ketiga. Jibril 'alaihis-salam meminta supaya dibukakan pintu. Kedengaran suara bertanya lagi: Siapakah engkau? Dijawabnya: Jibril. Jibril 'alaihis-salam ditanya lagi: Siapakah bersamamu? Jibril 'alaihis-salam menjawab: Muhammad. Jibril 'alaihis-salam ditanya lagi: Adakah dia telah diutus sebagai rasul? Jibril 'alaihis-salam menjawab: Ya, dia telah diutus sebagai rasul. Pintu pun dibukakan kepada kami. Ketika aku bertemu dengan Nabi Yusuf 'alaihis-salam ternyata dia telah dikurniakan dengan kedudukan yang sangat tinggi. Dia terus menyambut aku dan mendoakan aku dengan kebaikan. Aku dibawa lagi naik ke langit keempat. Jibril 'alaihis-salam meminta supaya dibukakan pintu. Kedengaran suara bertanya lagi: Siapakah engkau? Dijawabnya: Jibril. Jibril 'alaihis-salam ditanya lagi: Siapakah bersamamu? Jibril 'alaihis-salam menjawab: Muhammad. Jibril 'alaihis-salam ditanya lagi: Adakah dia telah diutus sebagai rasul? Jibril 'alaihis-salam menjawab: Ya, dia telah diutus sebagai rasul. Pintu pun dibukakan kepada kami. Ketika aku bertemu dengan Nabi Idris 'alaihis-salam dia terus menyambutku dan mendoakan aku dengan kebaikan. Firman Allah Subhaanahu wa Ta'aalaa Yang artinya: Dan kami telah menganggkat ke tempat yang tinggi darjatnya. Aku dibawa lagi naik ke langit kelima. Jibril 'alaihis-salam meminta supaya dibukakan pintu. Kedengaran suara bertanya lagi: Siapakah engkau? Dijawabnya: Jibril. Jibril 'alaihis-salam ditanya lagi: Siapakah bersamamu? Jibril 'alaihis-salam menjawab: Muhammad. Jibril 'alaihis-salam ditanya lagi: Adakah dia telah diutus sebagai rasul? Jibril 'alaihis-salam menjawab: Ya, dia telah diutus sebagai rasul. Pintu pun dibukakan kepada kami. Ketika aku bertemu dengan Nabi Harun 'alaihis-salam dia terus menyambutku dan mendoakan aku dengan kebaikan. Aku dibawa lagi naik ke langit keenam. Jibril 'alaihis-salam meminta supaya dibukakan pintu. Kedengaran suara bertanya lagi: Siapakah engkau? Dijawabnya: Jibril. Jibril 'alaihis-salam ditanya lagi: Siapakah bersamamu? Jibril 'alaihis-salam menjawab: Muhammad. Jibril 'alaihis-salam ditanya lagi: Adakah dia telah diutus sebagai rasul? Jibril 'alaihis-salam menjawab: Ya, dia telah diutus sebagai rasul. Pintu pun dibukakan kepada kami. Ketika aku bertemu dengan Nabi Musa 'alaihis-salam dia terus menyambutku dan mendoakan aku dengan kebaikan. Aku dibawa lagi naik ke langit ketujuh. Jibril 'alaihis-salam meminta supaya dibukakan. Kedengaran suara bertanya lagi: Siapakah engkau? Dijawabnya: Jibril. Jibril 'alaihis-salam ditanya lagi: Siapakah bersamamu? Jibril 'alaihis-salam menjawab: Muhammad. Jibril 'alaihis-salam ditanya lagi: Adakah dia telah diutus sebagai rasul? Jibril 'alaihis-salam menjawab: Ya, dia telah diutus sebagai rasul. Pintu pun dibukakan kepada kami. Ketika aku bertemu dengan Nabi Ibrahim 'alaihis-salam dia sedang berada dalam keadaan menyandar di Baitul Makmur. Keluasannya setiap hari memuatkan tujuh puluh ribu malaikat. Setelah keluar mereka tidak kembali lagi kepadanya. Kemudian aku dibawa ke Sidratul Muntaha. Daun-daunnya besar umpama telinga gajah manakala buahnya pula sebesar tempayan. Baginda bersabda: Ketika baginda merayau-rayau meninjau kejadian Allah Subhaanahu wa Ta'aalaa, baginda dapati kesemuanya aneh-aneh. Tidak seorang pun dari makhluk Allah yang mampu menggambarkan keindahannya. Lalu Allah Subhaanahu wa Ta'aalaa memberikan wahyu kepada baginda dengan mewajibkan shalat lima puluh waktu sehari semalam. Tatakala baginda turun dan bertemu Nabi Musa 'alaihis-salam, dia bertanya: Apakah yang telah difardukan oleh Rabbmu kepada umatmu? Baginda bersabda: Shalat lima puluh waktu. Nabi Musa 'alaihis-salam berkata: Kembalilah kepada Rabbmu, mintalah keringanan karena umatmu tidak akan mampu melaksanakannya. Aku pernah mencuba Bani Israel dan memberitahu mereka. Baginda bersabda: Baginda kemudiannya kembali kepada Rabb dan berkata: Wahai Rabbku, berilah keringanan kepada umatku. Lalu Allah Subhaanahu wa Ta'aalaa mengurangkan lima waktu shalat dari baginda. Baginda kembali kepada Nabi Musa 'alaihis-salam dan berkata: Allah telah mengurangkan lima waktu shalat dariku. Nabi Musa 'alaihis-salam berkata: Umatmu masih tidak mampu melaksanakannya. Kembalilah kepada Rabbmu, mintalah keringanan lagi. Baginda bersabda: Baginda tak henti-henti berulang-alik antara Rabb dan Nabi Musa 'alaihis-salam, sehinggalah Allah Subhaanahu wa Ta'aalaa berfirman Yang artinya : Wahai Muhammad! Sesungguhnya aku fardukan hanyalah lima waktu sehari semalam. Setiap shalat fardu diganjarkan dengan sepuluh ganjaran. Oleh yang demikian, berarti lima waktu shalat fardu sama dengan lima puluh shalat fardu. Begitu juga sesiapa yang berniat, untuk melakukan kebaikan tetapi tidak melakukanya, nescaya akan dicatat baginya satu kebaikan. Jika dia melaksanakannya, maka dicatat sepuluh kebaikan baginya. Sebaliknya sesiapa yang berniat ingin melakukan kejahatan, tetapi tidak melakukannya, nescaya tidak sesuatu pun dicatat baginya. Seandainya dia mengerjakannya, maka dicatat sebagai satu kejahatan baginya. Baginda turun hingga sampai kepada Nabi Musa 'alaihis-salam, lalu aku memberitahu kepadanya. Dia masih lagi berkata: Kembalilah kepada Rabbmu, mintalah keringanan. Baginda menyahut: Aku terlalu banyak berulang alik kepada Rabb, sehingga menyebabkan aku malu kepadaNya (HR. Bukhari Muslim)

Shalat, Prinsip Ketidakzhaliman Terbebas dari Ketidakpastian


Dikutip dari Pengajian Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf FK. UNDIP / RSUP Dr. Kariadi Semarang,
disampaikan oleh Ustadz Ali Masrum Al-Mudhoffar, Ahad, 17 Juni 2012

Shalat adalah serangkaian perbuatan berupa gerakan anggota badan dan perkataan dengan syarat dan rukun yang ditentukan Allah Subhaanahu wa Ta'aalaa mengikuti yang dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.
Firman Allah :
Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang menegakkan shalat dan menafkahkan dari apa yang Kami rizkikan kepada mereka,(QS. 2/Al-Baqarah : 1-3)

Pada firman Allah ini shalat tak terlepas dari iman pada yang ghaib.
Shalat sebagaimana pengertian definitifnya tersebut diatas adalah ritus (bersifat ritual).
Segala makna ritual dengan demikian didasarkan pada pokoknya yaitu shalat dengan definisi itu adalah yang tak terlepas dari iman pada yang ghaib.

Informasi, berita, ilmu tentang yang ghaib adalah menyesatkan, zhalim, tidak adil dan kadar serta derajatnya adalah persangkaan
kecuali yang diwahyukan yang berasal dari yang Maha Menguasai yang ghaib dan yang syahadah (tidak ghaib).
Pengetahuan tentang yang ghaib yang haq hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan Allah.



Katakanlah: "Aku tidak mengatakan kepada kalian, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepada kalian bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. (QS. 6/Al-An'aam : 50)

Segala sesuatu yang disebut ritual, dengan demikian, tak terpisah dari syarat dan rukun.
Bila syarat dan rukun terpenuhi ritual menjadi absah dan bila tidak terpenuhi ia tidak sah, batal atau rusak.
Karena itu, ritual tak terlepas dari iman pada yang ghaib. Sedangkan ilmu tentang yang ghaib adalah menyesatkan, zhalim, tidak adil kecuali yang diwahyukan yang berasal dari Allah. Maka otoritas yang haq, legal dan tidak zhalim menentukan syarat dan rukun ritual adalah yang ada pada yang diwahyukan yang berasal dari Allah. Tidak ada otoritas itu pada manusia yang tidak diberi kenabian oleh Allah untuk menerima wahyu.
Pendirian, sikap dan perbuatan manusia tidak ada yang terlepas hubungannya dengan yang ghaib yang mesti dipertanggungjawabkan.
Itulah mengapa, tidak ada jalan lain bagi manusia agar tidak sesat, tidak salah, tidak zhalim dalam hal segala perbuatannya tak terlepas dari masalah yang ghaib, kecuali dengan ditundukkannya segala unsur diri manusia pada ketentuan syarat dan rukun yang ada pada yang diwahyukan yang berasal dari Allah.
Segala unsur diri manusia baik hati, instink/naluri demikian pula akal beserta jalan fikiran dan jalan perasaannya bila tidak ditundukkan sinergik pada ayat-ayat Allah (dalam kitab-kitab Allah dan dalam peristiwa alam) maka adalah derita teradzab sengsara dan ternista hina


Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. 7/Al-A'raaf : 179)

Shalat Bebas dari Siksa Ketidakpastian

Terdapat pertanyaan dari seorang mahasiswa : Ustadz, saya tahu bahwa Allah Maha Pengampun dan Maha Melihat. Kadang-kadang saya merasa, karena Allah sudah lebih mengetahui diri saya dari pada diri saya mengetahui diri saya sendiri, membuat saya malu meminta, bermunajat atau meminta ampun, karena Allah juga tahu saya bermaksiat dan berbuat dosa lagi. Seolah-olah munajat saya hanya angin lalu yang tidak berbekas dalam diri saya. Apakah hati saya ini benar-benar sudah keras dan hampir tertutup. Saya ingin sekali mencintai Allah. Tapi bagaimana caranya, karena saya tidak seperti hamba-hamba Allah yang lain ?

Dijawabnya sebagai berikut :
Shalat adalah munajat. Shalat adalah do'a. Shalat adalah meminta ampun kepada Allah. Karena Allah memerintahkan hambanya untuk shalat, karena Allah memerintahkan untuk meminta ampun pada-Nya, maka taatilah perintah Allah sebagaimana ketaatan hamba Allah yang mengatakan : Aku shalat, aku beristghfar meminta ampun kepada Allah, aku bertaubat akan dosa-dosaku karena Allah memerintahkan, aku tak peduli jalan fikiran dan jalan perasaanku. Apalagi jalan fikiran dan jalan perasaan orang lain.

Terdapat pertanyaan yang lain :
Assalaamu’alaikum.Ustadz, saya mau tanya, kemarin saya bercakap dengan seorang
teman beragama Katholik. Kok dia juga bilang insyaAllah. Katanya di agama dia ada. Kalau begitu, bagaimana Ustadz ?

Dijawabnya pertanyaan itu :
Syaikh Efiaim Bar Nabba Bambang Noorsena, pimpinan Gereja Ortodoks Syria, dalam makalah yang disampaikan pada Syiar Injiliyah di Hotel Surabaya, 19 Juni 1998 mengakui salat dalam Kristen sebenarnya mengikuti salat yang berlaku dalam Yahudi, yaitu tiga kali: petang, pagi, dan tengah hari.
Namun, seperti dimuat Talmud, setelah penghancuran Baitul Maqdis dan eksodus ke Babilonia, ditetapkan satu waktu salat lagi, yaitu jam kesembilan, yang disebut minhah. “Menurut hitungan waktu Yahudi, kira-kira pukul tiga petang. Sejajar dengan waktu asar dalam Islam,” kata Noorseno. Dan, selanjutnya berkembang menjadi tujuh waktu.
Setiap salat terdiri dari tiga rakaat (satuan gerakan). Pada rakaat pertama hanya dilakukan qiyam (berdiri). Pada rakaat kedua dilakukan rukuk, dan sujud. Pada saat rukuk dan sujud ini dilakukan gerakan tanda salib. Dan, doa yang digunakan dalam bahasa Arab, Aram, Yunani, dan Ibrani. Lalu dibacakan pujian (qari’ah) yang dikutip dari kitab Mazmur. Pada rakaat ketiga dilakukan pembacaan kanun al imam, semacam pengakuan kepada Tuhan (syahadat) yang dikenal dalam Gereja Ortodoks.
Sebelum salat ditunaikan, ada semacam azan, panggilan untuk salat. Dalam panggilan salat ini ada kalimat yang mirip dalam Islam, misalnya hanya alashalah (marilah kita salat). Hayya alassalah bisalam (marilah kita salat dengan damai). Dan, sebelum acara salat dilakukan, diawali dengan pembacaan Injil.


Misalkanlah ada orang sembahyang seperti shalat kita, maka yang kita lakukan adalahkepastian sumber dan janji perintah dan larangan Allah dalam ayat-ayat-Nya, kemudian kita jawab perintah dan larangan itu dengan kepastian dari kita yang adanya ada pada ketaatan kita pada ayat-ayat Allah itu

Inilah cara yang ditunjukkan Allah untuk kita mentaati ayat-ayat yang diwahyukan Allah pada Ibrahim, Ya'qub, Dawud, Musa, 'Isa dan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Kita tak peduli jalan fikiran & jalan perasaan kita. Apalagi jalan fikiran & jalan perasaan orang lain yang jelas-jelas tidak diberi kenabian oleh Allah dan yang pasti itu digugat oleh Allah dengan pertanyaan-Nya dalam Al-Qur'an, Surat 52/Ath-Thuur : 30 – 43.

Pada ayat-ayat itu, diantaranya Allah mempertanyakan :

Apakah mereka diperintah oleh fikiran-fikiran mereka untuk (apa yang tak berdasar dari Allah) ini ataukah mereka kaum yang melampaui batas? Ataukah mereka mengatakan: "Dia (Muhammad) membuat-buatnya". Sebenarnya mereka tidak beriman. Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al-Qur'an itu jika mereka orang-orang yang benar. (QS : 52:Ath-Thuur : 32-34)

Selamat dari ketidakpastian yang menyiksa dan menista tonggaknya ada pada shalat mentaati Allah. Perintah Allah adalah pasti, sumbernya pasti, janji padanya pasti.
 Dari Abu Al-Haura As-Sa'dy, ia berkata : Aku berkata Hasan bin Ali : Apakah yang engkau menjaganya dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam ?
Hasan bin Ali menjawab : Aku menjaga dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam adalah (apa yang beliau bersabda) : Tinggalkan apa yang meragukan engkau menuju apa yang tidak meragukan engkau, maka sesungguhnya benar itu ketenangan dan sesungguhnya dusta itu kekacauan (tersiksa keguncangan). (HR. At-Tirmidzy)

Tinggalkan ketidakpastian sumber yang tetap saja merupakan perdebatan akal manusia menuju kepastian ayat-ayat Allah, apa yang diperintahkannya.
Tinggalkan ketidakpastian pendapat manusia menuju kepastian ketaatan yang mulia pada ayat-ayat Al-Qur'an yang mulia dari Dzat yang Mahamulia.
Tinggalkanlah ketidakmulian balik sana balik sininya kemauan nafsu fikiran dan perasaan, tinggalkanlah untuk menuju ketidakraguan ketaatan diri pada ayat-ayat Allah.
Tinggalkan tak bermartabatnya ketidakpastian karena tidak menegakkan shalat menuju kepastian penegakan shalat semata alasan taat pada ayat-ayat Allah dan sunnah kenabian Rasulullah .

BULAN SUCI DIBAWAH KAKI ZIONIS

Disampaikan pada : Forum Kajian AT-TAUBAH Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf FK. UNDIP/RSUP Dr. Kariadi Semarang, Ahad 23 November 20...